Permata dalam Ingatan yang Getir

In Situ #1: Permata di Bekas Biskop Permata, 23-25 Agustus 2015 | Foto: Barata TeMBI NeWS
Festival Kesenian Yogyakarta ke-27 yang berakhir pada 5 September 2015 sempat menampilkan pertunjukan unik, yakni pentas teater yang merespon eks gedung bioskop Permata. Bioskop ini tergolong ikon legendaris di Yogya. Zaman keemasannya selama puluhan tahun ikut menandai perkembangan Kota Yogya.

Untungnya, meski tak lagi digunakan, bangunannya masih kokoh berdiri sebagaimana aslinya. Berbeda dengan sejumlah gedung bioskop lain yang telah berubah fungsi, bahkan bentuk. Dengan keasliannya ini, gedung Permata mudah memanggil memori orang-orang yang dulu rajin menonton film di sini. Rasanya tak salah pilih ketika Kalanari Theatre Movement memilih Permata sebagai tempat pentas dan subyek kisah.

Kalanari mengisahkannya dengan getir. Adegan dan percakapan yang mengundang tawa pun berupa komedi hitam yang menafaskan kegetiran itu. Serba suram, dengan sentakan-sentakan yang mengagetkan, serta pengondisian yang membuat merinding, jadilah pementasan Kalanari sebagai pengingatan yang sarkastik dan mencekam.

Pengondisian sudah dimulai saat penonton memasuki gedung. Semua ruangan serba remang-remang. Meski acara belum dimulai, dua ruang kecil tempat penjualan karcis menjadi pentas minimalis. Seorang pemain biola memainkan musik sedih dan melangut. Di ruang tiket sebelahnya, seorang perempuan berdaster putih dan berambut panjang terurai duduk menghadap cermin. Di bawah ruang proyektor yang gelap, bermandikan cahaya lampur berwarna-warni, seorang pemain keyboard memainkan instrumennya. Seorang pendekar hilir mudik di antara penonton memeragakan gerak silat sambil meracau. Penonton juga diberi kesempatan memasuki ruang proyektor yang sempit, kumuh dan gelap.

Di dalam ruangan menonton yang luas dan gelap suasana tetap mencekam. Sama sekali tanpa kursi, penonton duduk lesehan. Lantai yang berundak membantu ruang pandang. Udara di dalam gedung agak sumpek dan berdebu sehingga panitia memberikan masker. Tak ada cahaya kecuali lampu yang menyoroti seorang perempuan berkebaya putih yang duduk di atas panggung, di depan layar bioskop yang kumuh, bergeming tak bergerak hingga pertunjukan dimulai.

Komplitlah pengkondisian suasana mencekam itu. Apalagi pentas diawali dengan teriakan perempuan dari arah belakang penonton, yang berjalan ke depan dalam keremangan. Tubuhnya yang berdaster putih terbungkus belitan pita seluloid, film yang biasa dipakai untuk pertunjukan film. Sisa pita panjang itu terseret di lantai mengikuti langkah perempuan itu. “Lepaskan aku, lepaskan aku,” teriaknya berulang-ulang. Adegan yang muncul kembali pada akhir pementasan.

Perempuan itu bernama Permata, artis papan atas keturunan Indo. Diawali dengan perkenalannya dengan dunia film saat ia masih remaja, hingga membintangi film-film laris yang sarat dengan adegan laga dan erotis. Bukan semata kecantikan atau kepiawaiannya berakting ternyata, tapi juga kerelaan menyerahkan tubuhnya pada sutradara atau pejabat yang berwenang.

Di sini tantangan Kalanari, bagaimana membawakan kisah klise ini menjadi menarik. Selain kejeliannya merespon ruangan bioskop ini. Pengadeganan dilakukan bukan saja di atas panggung maupun lantai di depan penonton tapi juga di barisan tengah penonton, maupun jalur dari belakang ke depan. Pertarungan silat antara pendekar perempuan dan pendekar pria, misalnya, yang diakhiri dengan adegan romantis keduanya. Pemanfaatan banyak ruang ini memang membuat pertunjukan lebih dinamis dan mengejutkan tapi juga membuat pegal leher penonton di depan, apalagi di bawah cahaya yang minim.

Di panggung muncul Permata yang berteriak histeris karena merasa disia-siakan di penghujung kariernya. Segerombolan pria melemparinya dengan botol plastik, dan menyeretnya turun, lalu memerkosa dan membunuhnya. Arwahnya bergentayangan di bioskop ini, membuat terbirit-birit penjaga bioskop. Menjelang akhir kisah, Permata berjalan di depan penonton sambil mengunyah kembang menuju di pintu keluar. Ia menoleh sebentar kemudian membuka pintu dan keluar gedung. Pintu yang dulu biasa dibuka jika film telah selesai.

Yang menarik, pemeran Permata dimainkan tiga perempuan bergantian. Menarik pula peran-peran lain yang dimainkan rangkap atau lebih oleh beberapa pemainnya. Rata-rata dengan akting yang patut dipuji.

Diperagakan pula kolusi antara pembuat film dan pejabat perfilman dengan “bahasa pembangunan“ muluknya, penjual VCD bajakan yang kocak menawarkan film-filmnya, serta penonton yang diusir penjaga bioskop karena “mojok” pacaran.

Pementasan yang disutradarai Ibed Surgana Yuga ini ditutup dengan kejenakaan, mencairkan kesuraman terdahulu. Para pemain berbaris merayakan kemerdekaan sambil bersorak dan bernyanyi. Pemimpinnya membawa tongkat bambu panjang, yang ternyata antena televisi. Di depan layar film tongkat tersebut digerak-gerakkan diikuti gambar TVRI yang berganti kabur dan jelas. Ketika tongkat bergerak ke kiri tubuh mereka ikut bergerak ke kiri, begitu pula sebaliknya. Sampai akhirnya gambar pun tampak jelas, mereka bersorak-sorai, dan memberi hormat. Satir yang memancing senyum getir.

Akhir pementasan ini tidak mengesankan happy ending tapi kegetiran. Sebagaimana juga bioskop Permata yang akhirnya gulung tikar dilibas stasiun-stasiun televisi dan cakram VCD/DVD. (Barata)

Sumber:
TeMBI NeWS, 14 Sep 2015

0 komentar