Mengenang Bioskop Permata: Mulai dari Mesum sampai Sepi Penonton

Suasana di luar gedung bekas Bioskop Permata menjelang pertunjukan In Situ #1: Permata | Foto: Koran SINDO
YOGYAKARTA - Teriakan minta tolong dari seorang perempuan terdengar begitu menyayat hati. Terjebak dalam lilitan gulungan rol film, sang perempuan berambut panjang yang merupakan tokoh imajinatif bernama “Permata” ini, meminta tolong kepada siapa saja yang bisa melepaskannya dari belenggu tersebut.

Di sisi lain muncul seorang laki-laki pendekar berpakaian serba hitam yang sedang marah dan mencari musuhnya. Hingga kemudian muncul seorang pria yang diketahui sebagai orang berpengaruh di bidang perfilman, dengan jas dan gaya perlentenya sokmengatur peredaran film bioskop dan memiliki sifat mesum terhadap kaum hawa. Inilah pagelaran In Situ #1 Permata.

Mereka yang sengaja ditampilkan secara bersamaan dan silih berganti ini tak lepas dari perwujudan pemain Kalanari Theatre Movement terhadap kondisi perfilman yang menimpa bioskop terdahulu khususnya di Yogyakarta. Alur utama In Situ #1 Permata sendiri berkisar pada tokoh bernama Permata, seorang perempuan yang pernah menjadi primadona pada masa 1970–1980-an.

Dia merupakan seorang bintang film, perempuan panggilan kelas elite dan praktisi klenik, dengan berjibun penggemar dan penghujat di seantero negeri. Seiring bertambahnya usia, kini Permata sendirian di usia yang renta dan dengan post power syndrome yang akut, nyaris seperti zombi.

Tokoh Permata merupakan personifikasi dari gedung bekas Bioskop Permata yang kini tidak terawat dan mati karena tergerus zaman. Ini pula yang ingin diangkat oleh teater yang memiliki ciri khas, selalu mengeksplorasi ruangruang spesifik. Bukan ruang panggung pertunjukan konvensional.

“Sebenarnya saya coba personifikasikan gedung ini jadi tokoh seorang perempuan bernama Permata. Yang bukan hanya bersumber pada sejarah gedung tapi juga biografi Suzanna. Tokoh tersebut dimainkan untuk bangun karakter tokoh Permata,” ujar Sutradara Ibed Surgana Yuga kepada wartawan seusai pementasan teater di gedung tersebut belum lama ini.

Tak hanya seorang, tiga perwujudan tokoh Permata pun ditampilkan sekaligus di dalamnya. Baik Permata yang merupakan bintang film, perempuan panggilan yang masih muda nan seksi, maupun perempuan praktisi klenik yang sudah renta. Dengan adanya tiga sosok itu, Ibed ingin menunjukkan perbedaan masing-masing sifat tokoh.

Baik itu ketika usia tua, memiliki sisi erotis, sisi horor, maupun sisi menjadi seorang korban nafsu para pria. “Selain memanfaatkan seluruh ruangan yang ada di bioskop, juga ada adegan penonton dan beberapa cuplikan lainnya yang memiliki korelasi di dalamnya. Adegan tumpang tindih juga dirancang seperti itu dengan tabrakan narasi masingmasing adegan.

Seperti di satu sisi ada kiai sedang ceramah sebagai tokoh netral, lalu tokoh cabul, maupun tokoh film,” papar Ibed. Dirinya sengaja menciptakan suasana ironi dan menimbulkan dramatik maupun kejutan bagi penonton. Di sisi lain, kejadian seperti ketidakpuasan penonton, adegan mesum, jumlah penonton sedikit, umum terjadi di bioskop kelas bawah macam Bioskop Permata.

Dia ingin pula menggambarkan kondisi bioskop terdahulu kepada para penonton. “Sebenarnya gedung ini sudah hancur dan kami bersihkan sendiri. Kursi tinggal beberapa saja dan banyak debu di mana-mana sehingga kami bagikan masker kepada penonton,” katanya.

Namun hanya dalam waktu tiga pekan, dia bersama tim pun akhirnya berhasil menyuguhkan sepenggal kisah bioskop lama dalam waktu satu jam. Tak hanya pementasan teater, mereka juga menampilkan narasumber yang dipercaya bisa menceritakan kisah bioskop tua legendaris di Yogyakarta itu.

Seperti Projectionis yang bertugas memutar film, direktur, hingga direktur utama Bioskop Permata saat itu. Bioskop yang tepatnya berada di Kampung Surokarsan, Kelurahan Wirogunan, Mergangsan, Kota Yogyakarta ini dibangun sejak 1946 dan dipakai sebagai gedung pertunjukan pada 1951. Namun pada 2010, gedung ini berhenti beroperasi karena tergerus zaman.

“Pertunjukan yang disajikan bagus dan terbilang seram. Sesuai dengan penggambaran gedung bioskopnya. Sayang, gedung ini lama tidak terpakai dan tidak terawat dengan baik,” kata Effendi, salah satu penonton pertunjukan. SITI ESTUNINGSIH

Sumber: 
Koran SINDO, Selasa, 8 September 2015 − 09:06 WIB

0 komentar