Kalanari Teater Bawakan Lakon Bertajuk “Kapai-Kapai atawa Gayuh”

Kapai-kapai (atawa Gayuh) dalam Helateater 2015 | Foto: Komunitas Salihara - Witjak Widhi Cahya
Kalanari Teater Movement membawakan lakon bertajuk Kapai-Kapai atawa Gayuh dalam pentas terakhir Helateater 2015 di Teater Atap Salihara pada Kamis-Jumat (23-24/4) lalu. Pentas ini adalah bentuk alih wahana naskah Arifin C. Noer. Kalanari menunjukkan kelindan antara teater modern dan tradisi dalam satu pementasan dapat menghasilkan sebuah pertunjukan yang benar-benar baru.

Ibed Surgana Yuga yang menjadi sutradara Kalanari Teater Movement melibatkan para seniman tradisional Sanggar Bangun Budaya dari desa Sumber, Magelang, dalam penggarapan Kapai-kapai atawa Gayuh ini. Kapai atawa Gayuh sebelumnya pernah dipentaskan di Mimbar Teater Indonesia di Solo tahun lalu.

Ibed mengakui sejak lama punya ketertarikan untuk menggarap salah satu naskah Arifin C. Noer ini. Ketertarikan Ibed tidak berangkat dari tema tentang buruh yang diangkat oleh lakon tersebut, namun lebih pada kemungkinan bentuk artistik yang ditawarkan lakon, serta cara ucap lakon dalam mengartikulasikan masalah yang diangkatnya.

Dalam prosesnya, Sanggar Bangun Budaya dari kaki gunung Merapi ikut terlibat secara intens. ’’Kami dan Sanggar Bangun Budaya sudah sejak lama menjalin hubungan untuk berbagi pengalaman dari dua disiplin seni pertunjukan yang berbeda, tradisi dan modern,’’ kata Ibed. Interaksi tersebut kemudian menghasilkan proses saling mempelajari dan eksplorasi metode-metode penciptaan pertunjukan masing-masing, di samping juga untuk mengetahui bagaimana latar kebudayaan masingmasing beroperasi dalam proses penciptaan.

Pada Kapai-kapai, Interaksi semacam itu menghasilkan pertunjukan yang kaya dengan pertemuan antara idiom-idiom Jawa dan unsur teater modern. Di Salihara, Kalanari membawakan Kapai-kapai di Teater Atap yang terbuka. Pertunjukn di luar gedung tertutup semacam ini menjadi salah satu bentuk garap yang konsisten Kalanari pegang pada setiap produksinya. Berangkat dari ide semacam itu, pertunjukan Kalanari dengan sendirinya tak pernah sama antara satu dengan lainnya walau membawakan naskah serupa. Ide semacam itu menuntun Kalanari melakukan eksplorasi ruang bukan hanya di Teater Atap saja.

Ampi teater di Anjung Slaihara, hingga atap gedung kantor Komunitas Salihara juga mereka lahap menjadi panggung pertunjukan. Pertunjukan Kapai-kapai atawa Gayuh menjadi semakin menarik dengan prinsip Kalanari yang hanyameng gunakan tata cahaya bersumber dari api obor dan senter. Visual panggung semacam itu diimbangi dengan pemeranan para aktor yang meyakinkan.

Dialog yang dibawakan dalam bahasa Jawa kemudian menjadi tidak terlalu mengganggu penonton untuk tetap betah duduk menikmati pertunjukan walau tak paham. Ekspresi tubuh dan olah gerak berikut pemanfaatan ruang panggung oleh Kalanari cukup ampuh menutup bolong dialog yang bisa berakibat fatal bagi penonton akibat kendala perbedaan bahasa.

Kapai-kapai atawa Gayuh memang tak taat pada naskah. Ibed mengakui banyak perubahan plot cerita dari naskah dalam eksekusi pemanggungannya. Situasi semacam itu tentu akan menyulitkan penonton yang berusaha mencari Kapai-kapai dalam Gayuh. Modifikasi karakter seperti kakek menjadi ustad dan emak menjadi dalang adalah salah satu bukti betapa sulit mencari Kapai-kapai di Gayuh.

Sebaliknya, Gayuh justru menunjukkan kehadiran Kapai-kapai, walau tak utuh, dalam sebuah pertunjukan yang benar-benar anyar. Sebagai pentas penutup, Kalanari melengkapi Helateater 2015 yang menghadirkan ragam bentuk kehadiran naskah-naskah Arifin C. Noer ke dalam sebuah pertunjukan.

Sumber: 
indopos.co.id, Minggu, 26 April 2015 - 12:30

0 komentar