Dongeng Mimpi “Kapai-kapai”

Geladi Kapai-kapai (atawa Gayuh) dalam Helateater 2015, Komunitas Salihara, 22 April 2015 | Foto: Eva Tobing
Kesulitan hidup kerap mendorong orang untuk mencari jalan keluarnya sendiri. Jika jalan keluar yang ditempuh itu benar, hasilnya pasti baik. Namun jika solusinya tidak tepat, masalah baru bakal dihadapi.

Setidaknya itulah pesan yang disampaikan Kalanari Theatre Movement saat memainkan lakon Kapai- kapai di panggung Teater Salihara, Jumat (24/4). Memainkan lakon karya Arifin C Noor, setelah diadaptasi tentunya, para pemain menyentil permasalahan-permasalahan sosial seperti kemiskinan masyarakat kota.

Jakarta dan kemewahannya seolah menjadi pusat dari segala mimpi, menjadi pengerat mimpi yang kian semu dan kering. Masyarakat berbondong datang kepada kemewahan tanpa dapat mengerti apa itu kemewahan sehingga akhirnya terjadi saling sikut dan dorong demi perut dan mimpi kosong.

Dengan Kapai-kapai, seolah kita diajari bagaimana kita seharusnya bermimpi tanpa harus tenggelam dan mati. Tokoh Abu, dalam Kapai-kapai, adalah seorang miskin sangat percaya pada kisah dongeng dari emak. Dongeng itu mengisahkan bahwa setiap manusia akan mendapatkan kebahagiaan jika berhasil menemukan cermin tipu daya di negeri Sulaiman.

Abu percaya cermin tipu daya dapat mengubah nasibnya. Ia lalu meninggalkan pekerjaan dengan gaji rendahan dan terlelap dalam mimpi. Abu terus asyik tidur sambil memburu mimpinya tentang cermin tipu daya, meski Iyem, istrinya telah mengeluh lapar. Di dalam mimpi, Abu menjadi seorang pangeran dengan kekuasaan dan kebahagiaan yang sangat luar biasa.

Setelah bangun tidur, mimpi Abu tersebut seolah hilang seketika. Ia lagi-lagi menemukan kenyataan bahwa ia adalah orang miskin. Ia melihat istri dan anaknya tergolek menderita kelaparan. Abu bukannya mencari jalan keluar dari kesulitan ekonomi, malah masih terbuai mimpinya. Kesulitan demi kesulitan hidup ia jalani. Semakin hari Abu makin tidak bisa membedakan antara halal dan haram, antara baik dan benar, ia hanya tahu bahwa perut harus diisi entah dari mana asalnya.

Perguliran waktu seolah tidak dapat ia bendung. Ia lemah dan terus lemah. Tuntutan hidup makin tinggi, tapi Abu masih terbuai obsesi mendapatkan cermin tipu daya. Hingga akhirnya waktulah yang menyadarkan Abu. Tua dan mati bagai waktu yang mencabik mimpinya. Tanpa berbuat apa pun dalam hidup, Abu tenggelam dalam mimpi dan meninggalkan dunia nyata. Ia tua dan akhirnya mati.

Dalam memainkan naskah saduran besutan sutradara Ibet, teater asal Yogyakarta ini berhasil membawakannya sehingga menjadi tontonan menarik dan liar. Disebut liar karena Kalanari mampu mengelaborasikan antara pemain dan tempat pertunjukan di ruang terbuka. Para pemain juga diberi kebebasan untuk mengimprovisasi naskah sehingga mampu menguras emosi penonton.

Baik aktor, pemain musik, hingga tata lampu, pada pertunjukan tersebut, begitu sigap dan cekatan mengikuti ritme yang telah digariskan sang sutradara Ibed Surgana Yuga dalam mengeksplorasi ruang terbuka. Ibed yang mengaku sangat menyukai pertunjukan di ruang terbuka itu sangat puas dengan akting dan kerja keras teman-teman Kalanari dalam menerjemahkan cerita dengan improvisasi mereka sendiri.

Menurutnya, improvisasi dilakukan dengan pemahaman naskah terlebih dahulu secara komprehensif, memilih ide-ide yang diusung setiap adegan, lalu memainkannya secara improvisatoris dalam bahasa Jawa. ”Saya sengaja membebaskan pemain untuk melakukan improvisasi naskah dengan catatan telah memahami naskah secara komprehensif,” ujarnya.

Selama pertunjukan Kapai-kapai seluruh pemain menggunakan bahasa Jawa dalam. Mengapa memilih bahasa Jawa dalam dialog-dialognya? Alasannya, kata sutradara, karena para pemain umumnya berasal dari Jawa. Rasa-rasanya, dengan menggunakan bahasa Jawa, isi cerita akan menjadi lebih hidup.

Sementara itu, jika dipaksakan menggunakan bahasa Indonesia, hal bisa saja akan mengurangi keluguan dalam menerjemahkan cerita. Para pemain akan terdengar purapura dalam berbahasa sehingga menghilangkan eksplorasi mereka dalam memainkan perannya.

”Mereka para pemain lebih nyata dengan bahasa Jawa, sehingga jika dipaksakan menggunakan bahasa Indonesia, maknanya kurang sampai karena mereka tentunya sulit untuk bereksplorasi,” kata laki-laki asal Bali ini. Terkait naskah, Ibed mengaku banyak mengubah naskah dengan mengambil poin-poin substansinya saja.

Pengambilan poin substansi, pendalaman naskah, serta kolaborasi dengan ruang pertunjukan terbuka membuat Ibed berani bereksplorasi dan membuat pemain semakin liar terstruktur dalam memainkan perannya. Dalam mengubah naskah Kapai-kapai ke dalam tradisi Jawa, Ibed banyak mencari kecocokan cerita agar masuk dalam tradisi budaya Jawa.

Sementara itu, pemeran dalang (dalam naskah Arifin, Tokoh Dalang adalah emak) Untung Pribadi mengatakan, dirinya sangat mengagumi eksplorasi yang sangat berani dan cerdas dari Ibed. Dengan pertunjukan di ruang terbuka dan saduran naskah ke dalam tradisi Jawa, menurutnya, suatu terobosan sulit.

Namun, Ibet bisa melakukannya dengan baik dan sukses. ”Sutradara (Ibed) sangat kreatifdalam memadukan cerita dengan ruang. Ia memang berani dan cerdas dalam mengoptimalkan ruang pertunjukan,” ujarnya.

Imas damayanti

Sumber: 
Koran SINDO, Minggu, 26 April 2015 - 11:50 WIB

0 komentar