Kalanari: Teater dari Rumah Kontrakan Tepi Sawah

Refleksi Dina Triastuti untuk Empat Tahun Kalanari 

Selama hampir empat tahun ini, Kalanari Theatre Movement telah menjadi “rumah” bagi saya. Bahkan dengan setia menunggui rumah tepi sawah di Jeblog yang sampai saat ini statusnya masih mengontrak. Rumah yang telah menjadi tempat singgah bagi semua rekan, teman, dan handai taulan, baik seniman serta apa pun profesi dan latar belakang mereka. Rumah kecil itu juga menjadi tempat latihan, masak mie instan bareng serta menjadi basecamp kelompok. Tak jarang jika tamu menginap harus berbagi dengan tumpukan kardus tempat kami menyimpan properti, senter, kostum-kostum lama. Kala musim rambutan tiba, buahnya juga menjadi sambutan menyegarkan selain kopi dan teh yang bisa diseduh sendiri. Itulah rumah bagi Kalanari yang harus selalu cukup besar bagi semua yang datang.

Dina Triastuti | Foto: dok. Kalanari

Kalanari bukan seperti kelompok teater kebanyakan. Kesederhanaan, orang-orang yang ndesit, cenderung katrok, adalah perilaku yang selalu dibawa pada setiap pentas. Bagaimana kami pentas tanpa melupakan Tolak Angin, Antimo, koyo, minyak kayu putih serta nasi bungkus dengan lauk sambal dan krupuk. Namun karya Kalanari tidak pernah sederhana! Walaupun tanpa sound system canggih dan tata cahaya yang njelimet. Kalanari itu rumit, entah di kepala si sutradara saja, serta kesungguhan aktor/pemainnya (mungkin karena ingin tampil bagus). Terlalu sombong jika disebut totalitas, mungkin lebih tepatnya ketulusan dan keteguhan menjalani proses teater sebagai bagian dari hidup yang sebenarnya belum mampu menghidupi.

Ya, kami masih tertatih. Berjalan dari pentas satu ke pentas yang lain, berproses dari satu gagasan ke ide yang lain. Jangan-jangan kesederhanaan itulah yang membuat kami tidak berani melesat terlampau tinggi. Produksi dan manajemen jangan dipandang sebelah mata, sebab ada hal lain yang perlu kami mufakatkan selain berpentas. Semoga Kalanari tidak lupa untuk selalu duduk bersama serta menjaga komunikasi!

0 komentar