Upacara di Jazad Bioskop Permata

In Situ #1: Permata yang dipertunjukkan 23-25 Agustus 2015 di bekas Bioskop Permata | Foto: Arum Tresnaningtyas Dayuputri
Oleh:
Indra Tranggono

Sutradara dan penulis lakon teater Ibed Surgana Yuga tetap konsisten mengeksplorasi ruang, baik dalam arti room maupun space. Kali ini ruang yang dipilih adalah gedung bekas (jazad) bioskop Permata di Jalan Sultan Agung, Yogyakarta, dalam pertunjukan bertajuk In Situ#1 Permata (23-25/8). Ada memorabilia, ada sejarah, ada rezim film bangkrut, ada kegetiran primadona bernama Permata.

Ibed bersama Kalanari Theatre Movement, menyodorkan interupsi kultural: pentingnya pemaknaan atas bangunan warisan budaya bekas bioskop Permata yang  kini mangkrak, kesepian, bisu dan beku – tanpa listrik dan air. Keberadaannya seperti mengejek kota budaya Yogya yang merasa gagah menyandang slogan “Jogja istimewa”. Ironis.

Bioskop Permata, lebih dari sekadar kenangan. Ia adalah bagian penting sejarah dan kultur bioskop yang turut memberi andil nilai bagi kebudayaan di Yogyakarta. Tentu juga layak dicatat bioskop lain misalnya Soboharsono, Ratih, Rahayu, Yogya Theatre, Royal Theatre, Serbaguna Theatre, Presiden, THR, Istana, Indra, Mitra, Galaxy, Golden, dan Mataram Theatre. Langgam kehidupan serba kapital telah memaksa mati banyak perusahaan bioskop yang tidak berada dalam payung konglomerasi. Faktor pembunuh lainnya: industri hiburan di teve swasta pada era politik-ekonomi neo-liberal. Juga peralihan dari film/seleloid ke digital dengan seluruh konsekuensinya. “Hanya yang kuat yang bisa bertahan, ” kata simbah buyut kapitalisme.

Fenomena Ruang
Ibed selalu punya alasan konseptual setiap memilih ruang. Lihatlah karya Ibed sebelumnya seperti Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai) (2009), Gayuh (tafsir atas Kapai-kapai Arifin C Noer, 2013). Bagi Ibed, ruang tak sekadar jadi setting pertunjukan tapi dipahami, disikapi sebagai entitas fisik, geografis, geososial, geopolitik dan geokultural yang (di)hadir(kan) sebagai subyek, teks besar yang mengandung tenunan makna. Ruang selalu mengandung banyak fenomena. Respons dan eksplorasi melalui gagasan sosial dan estetika, melahirkan berbagai peristiwa teaterikal-dramatik yang menyatu dengan penonton. Menonton pertunjukan Ibed, pada galibnya memasuki upacara bersama dan menghayati peristiwa dan suasana dramatik. Ini yang juga terjadi pada repertoar In Situ#1 Permata.

Upacara untuk menjadi bagian dari repertoar In Situ#1 Permata sudah terjadi ketika para penonton berjubel di samping bioskop, menyaksikan memorabilia berupa poster lawas film “panas” yang menempel di etalase di samping sosok perempuan berdandan hantu seksi. Lalu seorang laki-laki berkoar-koar dengan megaphone, mengingatkan jangan beli tiket dari catut dan menggiring para penonton untuk antri masuk di pintu bagian barat gedung.

Di dalam gedung, di dekat WC yang tanpa air, penonton disergap perempuan “hantu”. Beberapa penonton kaget. Beberapa penonton menjerit. Sebelum masuk ke arena pertunjukan bergaya lesehan, beberapa petugas membagi masker pada para penonton (mengingatkan bencana erupsi Merapi). Mereka bilang, “Sebaiknya pakai masker, karena gedung ini berdebu.”

Perasaan kurang nyaman pada ruang telah menimbulkan isyarat kegentingan atas dua dunia. Yakni dunia bioskop Permata (dibangun tahun 1946) dan dunia perfilman nasional era 1970-1980-an, yang mengalami kebangkrutan. Dua dunia itu diikat kehadiran perempuan bernama Permata, artis film, primadona dan perempuan penghibur kelas elite.

Melalui Permata, persoalan pun dianyam dan melibatkan banyak tokoh: produser, pejabat, penonton, penjual VCD bajakan, “hantu”, tukang proyektor, tukang sensor film, penyiar, dll. Seluruh ruangan bioskop tak hanya jadi ajang tapi juga dihadirkan sebagai “aktor” yang memungkinkan berbagai peristiwa berlangsung, dengan melibatkan tokoh-tokoh tadi. Ada postpower syndrome Permata. Ada hiperbola pejabat negara yang bicara mupluk tentang ideologi, konsitutusi. Ada produser yang gemar menyuap. Dan berbagai persoalan yang menandai pasang surut perfilman nasional, yang juga berimbas pada nasib buruk bioskop Permata. Pertunjukan dipuncaki oleh adegan yang sangat impresif: arak-arakan orang mengagungkan antena televisi, tak beda dengan panji-panji negara. Secara semiotik adegan ini merepresentasikan kehadiran industri hiburan di teve yang sukses melumat bioskop, termasuk Permata.

Teater Demokratis
Pertunjukan ini tak terikat pada konvensi (arena atau procenium). Seluruh ruang adalah panggung sekaligus semiotika teaterikal. Adegan bisa berlangsung di berbagai sisi: belakang, samping kanan-kiri, tengah, depan, atas (layar) dan ruang-ruang lainnya. Anti fokus. Anti keseimbangan. Adegan sering terjadi tak terduga. Penonton harus kreatif mengubah pandangan, dalam pertunjukan yang dinamis ini. Ritme permainan terletak pada pergantian perca-perca adegan tanpa plot ketat. Terkait makna, cerita atau pesan, penontonnya yang harus menyusunnya sendiri. Teater ini sangat demokratis memberi keluasan tafsir dan imajinasi penonton.

Dengan mengeksplorasi dan mengolah ruang, Ibed dkk telah membuka ruang kemungkinan: ruang gagasan, ruang perasaan, ruang sosial, ruang budaya, ruang nilai-nilai. Hakekat teater adalah kritisisme atas realitas. Ia hidup, bergerak, mencari makna, membebaskan dan melakukan transendensi, termasuk dalam mengeksplorasi ruang.

Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan

0 komentar