Permata, Romantisme Bekas Gedung Bioskop

In Situ #1: Permata di Bekas Biskop Permata, 23-25 Agustus 2015 | Foto: isigood.com
Sempat terasa agak horor ketika memasuki gedung bekas bioskop Permata di simpang tiga Jalan Sultan Agung dan Jalan Gajah Mada, Yogyakarta, Minggu (23/8). Di sudut kamar mandi ada perempuan dengan busana tahun 1970-an yang berteriak-teriak. Dan semakin masuk ke dalam bagian utama gedung, sudah terdengar stensil suara almarhum Susanna (artis film horor) dalam suatu film lama.

Hingga akhirnya beberapa pemain muncul dari ruang yang berada di belakang tempat penonton yang duduk lesehan. Menggunakan busana yang lagi-lagi menggambarkan era saat bioskop Permata masih ‘berdiri’ tegak dengan beragam permasalahan dan kesenangan.

Itu yang tergambarkan dalam pertunjukan ‘In Situ #1 Permata’, di bekas bioskop Permata. Acara tersebut merupakan bagian dari Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 27 yang didukung SKH Kedaulatan Rakyat.

Pentas ini masih berlangsung hingga Selasa (25/8). ‘In Situ #1’ merupakan sebuah pergerakan budaya oleh Kalanari Theatre Movement, berupa proyek pertunjukan yang berdasar pada teks-teks dari ruang tempat pertunjukan digelar.

“Pertunjukan ini mencoba menginterpretasikan narasi saat bioskop ini jaya dan kolaps dari segi tontonan dan penonton. Bioskop Permata sebagai ruang pertemuan sinema dengan penonton yang penuh narasi menarik, yang di masa kini sering menjadi narasi romantisme generasi masanya. Ada banyak hal yang beroperasi di belakangnya termasuk orde baru,” jelas Sutradara, Ibed Surgana Yuga.

Sebelum pertunjukan utama dalam gedung, ada pertunjukan lain di luar yang menjadi semacam peristiwa yang terpecah. Ada suasana tahun 1980-an, semacam mozaik peristiwa yang mencoba mengingatkan dan menggiring bahwa dunia film bagian dari keseharian.

Cerita memunculkan karakter fiktif bernama Permata yang dihadirkan dalam tiga sisi yakni, tua, erotis dan horor, serta korban sekaligus pelaku. Korban dalam hal ini berkaitan erat dengan banyak film horor erotis. Kalau diamati film horor waktu itu, tokoh hantu adalah protagonis, bangkit dari kubur dan balas dendam terhadap lelaki bejat (antagonis).

Namun, ia tak begitu saja dibiarkan jadi protagonis, karena di bagian ending selalu diselesaikan tokoh ulama untuk menetralkan kekuatan negatif dari hantu itu. Kembali lagi laki-laki. Karenanya, perempuan seolah-olah dijunjung tinggi kemudian dijatuhkan lebih dalam.

Kesulitan di kondisi fisik gedung yang mengkhawatirkan, karena debu, dan pecahan kaca yang bahaya bagi penonton dan pemain. Banyak pemain yang sempat kena pecahan kaca. Selebihnya, pentas ini memang dirancang untuk merespons bioskop Permata. (Mez)-m

Sumber:
Kedaulatan Rakyat, Selasa Legi, 25 Agustus 2015

0 komentar