Kembali ke Simbol, Kembali ke Alam: Catatan untuk “Pooh-pooh Somatic”
Oleh: Cucum Cantini
Suatu hari di masa kuliah strata satu, dosen linguistik saya menceritakan bagaimana seorang raja Mesir mengurung seorang anak dalam sebuah ruangan tanpa diberi komunikasi dengan sesama manusia. Yang dia dapatkan hanya makanan untuk melangsungkan hidupnya. Raja Mesir itu memiliki keyakinan bahwa bahasa yang nantinya anak itu katakan adalah bahasa utama manusia. Dan pada akhirnya anak tersebut mengucapkan sebuah kata yang berarti roti dalam bahasa Mesir Kuno. Saya mungkin tidak mendapatkan analisis linguistiknya secara lengkap dan detail. Akan tetapi, semenjak saya mendengarkan kisah tersebut, saya percaya bahasa bukan hanya sekadar media dan alat untuk mendapatkan apa yang manusia inginkan dan butuhkan. Yang hanya ada dalam gagasan saya saat itu—dan saat ini—adalah bagaimana bahasa menjadi media kuasa yang sangat besar untuk menguasai sesamanya.
Pooh-pooh Somatic: On Crowd Of Biographies di PKKH UGM, 21 Agustus 2017 | Foto: Yudha Wibisono |
Malam tadi, 22 Agustus 2017, di Gedung PKKH UGM, adalah sebuah titik awal saya memahami bagaimana bahasa teks telah mati oleh tanda bunyi dan simbol. Jelasnya, matinya kata-kata dalam sebuah bahasa. Mungkin hanya saya kala itu yang menonton penonton dan mencatat layaknya mengikuti panel diskusi seminar. Saya merasa semua orang bisa menikmati sebuah drama atau teater, dan Kalanari telah memberikan sebuah materi linguistik pada saya. Pooh-pooh Somatic adalah tajuk yang diangkat oleh peraih Hibah Kelola tersebut, berangkat dari gagasan Max Müller mengenai teori Pooh-pooh—sebuah teori mengenai asal-mula bahasa.
Banyak emosi yang dibahasakan melalui mimik-gerak-dan-suara yang maksimal disampaikan dengan tubuh para pelakonnya, semuanya tanpa bahasa, baik lisan dan tulisan. Kadang pemain seolah bermonolog, tapi dia hanya bersuara tanpa bahasa yang dimengerti, akan tetapi dengan intonasi dan gerak tubuh, penonton memahami apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh tersebut. Ruang terbuka PKKH yang berada di barat panggung terbuka digunakan semaksimal mungkin, menurut Andika Ananda, penggunaan ruang terbuka adalah langkah awal Kalanari di tahun 2008, menjadikan alam sebagai panggung, dan sampai saat ini mereka menjadikan teater terbuka sebagai ciri khas dirinya. Dalam hal ini, Kalanari melepaskan kuasanya terhadap panggung tertutup, dan memberikan keleluasaan alam untuk memberikan manusia perasaan tergantung pada cuaca dan suasana. Inilah yang kemudian menjadikan teater posmodern—kembali ke alam, lahir.
Hal pertama yang sangat menarik perhatian adalah pakaian-pakaian yang digantung seakan-akan dijemur. Sementara pemain-pemainnya hilir mudik di antaranya, meraung, memekik, menghardik, jatuh, berbaris, berteriak, tertawa, menangis. Kadang pakaian itu dipakai, ditarik, bahkan dimakan. George Boeree dalam The Origin of Language mungkin pernah membahas bagaimana perbedaan antara manusia dan binatang. Binatang menggunakan tanda sementara manusia menggunakan simbol. Simbol tidak arbitrer dan konvensional seperti tanda, oleh karenanya bisa merujuk ke beragam makna. Itulah kenapa, Kalanari menggunakan pakaian yang digantung tersebut, untuk membedakan manusia dan binatang, bagi saya pakaian adalah sebuah simbol peradaban manusia yang membedakannya dengan binatang. Struktur sosial telah memaksa manusia untuk merasa beda dengan makhluk lainnya, berbaju, menulis-membaca, dan tentu saja berbahasa.
Hal lain yang menurut saya membuat Kalanari sukses menyampaikan makna (tanpa teks) pada penonton adalah ketika beberapa adegan membuat penonton hampir semua tertawa, terkejut, dan takut, secara bersamaan. Di antara penonton tersebut, terdapat beberapa warga asing, yang artinya tanpa bahasa teks, penonton mengerti dan bereaksi yang sama. Ini adalah sebuah gagasan yang menurut Lehmann, sebuah teater posdramatik mampu menyampaikan makna tanpa teks. Dan tubuh-tubuh pemain tersebut mampu berkuasa tanpa teks. Mari bandingkan dengan pertunjukan ketoprak, saya yang tidak menguasai bahasa Jawa mungkin tidak akan bisa menikmatinya. Dialog dan monolog berbahasa Jawa campur bahasa Indonesia tidak akan mampu menyampaikan sepenuhnya pada saya, makna yang sempurna yang dituturkan oleh pemainnya. Oleh karenanya, teks masih menguasai tubuh. Ini artinya, emosi-emosi yang ditunjukkan oleh para pemain teater semalam telah menjadi standar konvensi bahasa manusia. Meski ironisnya, ketika adegan menyakitkan, penonton ada yang secara bersamaan tertawa. Jadi pertanyaannya kemudian, apakah ada yang berubah makna, ataukah ada nilai-nilai kemanusiaan kita yang berubah?
Cucum Cantini, Pengamat seni pertunjukan. Saat ini tengah menempuh pendidikan pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gadjah Mada.
Sumber:
gelaran.id - 24 Agustus 2017
0 komentar