Kalanari Theatre Movement: Sebuah Niatan Menjadi Organis (3 - Selesai)

Ke Luar: Berdialog dan Menggali Pengaruh

[...] berdasarkan pemandangan saya dari jarak jauh, Kalanari memilki usaha yang besar [...] untuk menjangkau/meluaskan jejaring dan membuka akses pertukaran pengetahuan atas teater, seni dan budaya, melalui berbagai kegiatan yang mereka inisiasi [...]

Mengakrabi ruang, membaca teks ruang dengan teks tubuh, adalah juga praktik membaca teks tubuh-tubuh lain. Menubuhkan teks ruang, dengan demikian, adalah juga menubuhkan teks dari tubuh-tubuh lain. Ini adalah laku dialog, praktik menggali pengaruh. Saya sebut menggali pengaruh untuk lebih menekankan sikap mencari pengaruh, kesadaran dipengaruhi, dengan sadar membaca dan menubuhkan teks-teks dari luar dan tidak membiarkannya begitu saja memasuki tubuh tanpa pemahaman atau interpretasi terhadapnya. Berbicara tentang pengaruh, menurut saya, bukan hanya tentang bagaimana mengambil sesuatu dari luar, namun juga perihal menolak sesuatu. Karena dengan menolak, tubuh akan menciptakan sesuatu lain dari yang ditolaknya, atau malah menggali pengaruh dari yang lain lagi. Praktik kesadaran untuk menolak ini selanjutnya saya maknai sebagai laku menghargai eksistensi teks lain di luar tubuh yang tak ingin diambil sebagai bagian dari teks tubuh, katakanlah tak cocok ditubuhkan. 

Mencoba jadi organis, menciptakan ekspresi yang orisinal dari keberadaan tubuh sebagai organisme yang hidup dalam ekosistem budaya, tentu saja bukan berarti steril dari pengaruh luar, bahkan seluar-luarnya. Ekspresi yang orisinal, organis, tulen, bagi kami bukanlah masalah kebaruan atau inovasi, atau tak mirip dengan yang lain, namun adalah tentang kejujuran tubuh dalam menciptakan ekspresi. Tubuh mesti dengan jujur membaca, menyadari dan menafsir diri serta berbagai anasir luar yang memengaruhinya. Kami mendaku diri melakukan niatan menjadi organis adalah sebentuk pengakuan diri bahwa kami hidup dalam ekosistem budaya yang serupa jejaring selang infus yang menyalurkan asupan pengaruh ke semua organisme yang ada di ekosistem itu.  

Foto: Dok. Kalanari | Desain: Ibed

Kami menggali pengaruh ke mana-mana, ke manusia yang ditokohkan hingga anak kecil, ke kitab-kitab tersohor hingga catatan jimpitan ronda, ke kelompok-kelompok teater lain, ke ranah seni lain, hingga ke ruang-ruang yang secara umum tak dimasukkan dalam wilayah kebudayaan. Semuanya kami coba – di sela-sela kemalasan – semasih mampu kami jangkau dan kami rasa teks-teks mereka penting bagi gerakan kami. Dan sering kali kami bergerak menggali pengaruh secara personal, tak terprogramkan, karena kami rasa gerakan ini juga berdasar kepentingan personal. Tapi selalu saja ada kesempatan untuk berbagi pengaruh bagi sesama manusia dalam Kalanari, yang lagi-lagi sering tak terprogram, hanya berjalan begitu saja seperti obrolan tentang kerupuk atau kotoran cicak. Namun terbukti pula gerakan-gerakan personal ini membawa teks-teks pengaruh besar ke dalam Kalanari. 

Ketika proses Kintir di Seni Teku, konsep yang kini kami sebut sebagai “mengakrabi ruang” masih saya anggap sebagai sekadar metode untuk meluluhkan jarak pertunjukan dengan tempat pertunjukan dan penonton. Bagaimana jalinan teks ruang dan teks tubuh aktor memengaruhi tenunan teks lakon pun masih saya sikapi sebagai sekadar konsensus untuk merangkai teks bersama, dengan tidak memosisikan diri saya sebagai penulis teks tunggal. Di tengah itu, di awal 2010, saya bertemu dengan Suprapto Suryodarmo (Mbah Prapto), tokoh yang – maaf saja – namanya pun baru saya dengar ketika itu. Dua-tiga orang dari kami lalu terlibat latihan-latihan gerak Mbah Prapto, lalu masuk ke beberapa event yang diinisiasinya. Dari keterlibatan inilah kami menggali pengaruh, menimba berbagai konsep, tentang bagaimana membaca ruang, menyadari tubuh, memanusiakan atau membinatangkan tubuh, mendekatkan laku artistik dengan keseharian, nyemelehke ego kesenimanan. Latihan dan obrolan dengan Mbah Prapto banyak menginspirasi konsep dan metode teater kami, gerakan budaya kami. 

Lalu bertemu pula kami dengan Sanggar Bangun Budaya, diawali oleh dua orang dari kami. Sanggar ini bagi kami adalah sebuah komunitas seni tradisi yang progresif. Karena sebagian besar dari kami punya ibu pada budaya ndesit, maka pertemuan dengan Bangun Budaya bisa jadi semacam kunjungan ke rumah ibu, rumah yang masih jadi rumah tubuh, tapi jarang dikunjungi sehingga segala perubahan seakan suatu ketiba-tibaan. Di sana kami membaca lagi teks tentang desa secara realitas kekinian, lalu kami bandingkan dengan narasi “ideal” (baca: eksotis) tentang desa atau kampung yang selama ini hidup di kepala kami: budaya agraris, seni tradisi, guyub, gotong royong, sederhana, polos, non-materialistis, adem ayem. Dan kami tahu saja bahwa desa tak semudah itu. Ruang desa yang kami baca dari Bangun Budaya adalah lalu lintas teks yang sangat progresif, cepat menggali pengaruh, dan centang perenang di sisi yang lain. Bangun Budaya justru menghamparkan pada kami bagaimana tradisi kontemperer mereka lakoni dengan gelora keseharian dan artistik yang hampir sama tegangan tingginya, di mana di dalamnya politik juga beroperasi. Ketika kami menawarkan Kapai-kapai Arifin C Noer sebagai media untuk dialog dengan Bangun Budaya, tampaklah bahwa potensi sosial-budaya mereka punya berbagai macam perangkat interpretasi teks yang luar biasa. 

Pertemuan dengan Bangun Budaya jadi salah satu bentuk kegemaran kami – terutama saya – bermain-main dengan masa lalu: tradisi, sejarah, mitos.... Entah mengapa kami menyukai ranah kekunoan. Bisa jadi hanya romantisme terhadap idealitas (narasi kejayaan?) sejarah masa lalu yang tak teralami dan tak tergapai, atau mungkin sekadar biusan bacaan-bacaan yang ditulis para Orientalis. Kami barangkali antara sadar dan tidak sadar hidup di ruang yang dikonstruksi sebagai Dunia Ketiga. Entahlah, kegandrungan ini belum bisa kami – terutama saya – petakan ujung pangkalnya. Namun kami sangat menikmati penjelajahan ruang-ruang yang demikian, menggali pengaruh di sana, dengan niatan mencari tahu bagaimana ekspresi-ekspresi itu lahir secara organis dari ruang ketika itu. Kami punya program yang dinamai Selisik Panji, sebuah media untuk memasuki ruang literatur masa lalu Jawa, membaca jejak ekpresi budayanya yang masih dengan jelas kita lihat sekarang. Menggali pengaruh teks dari literatur dan budaya Panji sempat kami singgahkan dalam dua pertunjukan: Topeng Ruwat (2012) dan Panji Amabar Pasir (2013). 

Saya selalu menganjurkan teman-teman di Kalanari untuk turut berproses di luar Kalanari, baik masih dalam lingkup teater atau di luar teater. Hal ini terutama bukan untuk memberikan sumbangan pengalaman ke dalam organisasi, namun lebih pada pengembangan personal mereka sendiri. Di samping itu, penggalian pengaruh juga kami lakukan lewat organisasi, baik melalui program terencana maupun secara insidental. Beberapa teman Kalanari – termasuk saya – pernah terlibat dalam beberapa program teater untuk pendidikan dan teater pemberdayaan yang diinisiasi Yayasan Kelola. Pengalaman ini memberikan ilmu dan pengalaman yang banyak bagi kami, terutama dalam mempelajari suatu masyarakat, dan lebih dalam lagi membaca keterkaitan aspirasi hidup dengan ekspresi artistik mereka. Bagi kami, selain untuk memahami teater sebagai media, program ini adalah sebuah tahap dalam mempelajari ekspresi budaya yang organis. Program lainnya adalah diskusi santai yang kami namai Temen Ngobrol, di mana kami juga mencoba menggali pengaruh dengan menculik dan mengobrol bersama tokoh-tokoh yang kami anggap perlu teks mereka kami tubuhkan. Menggali pengaruh dengan mengenali seintim mungkin teks yang memengaruhi kami adalah suatu laku penting dalam rangka menciptakan ekspresi budaya (teater) yang organis, sehingga kami tahu dan sadar dengan ekosistem budaya macam apa yang sedang melingkupi kami. Dengan kata lain, kami paham dengan peta situs di mana kami tinggal. 

Ke Depan: Bergerak, “Find Your Stopping”, Bergerak...
Saya menyadari bahwa semuanya punya batas waktu. Suatu saat Ibed harus pulang ke kampung halaman untuk mencangkul di kebun dan mengabdikan dirinya pada leluhur, demikian pun juga saya dan teman-teman lain yang akan menempuh jalannya masing-masing. Dan saya yakin jika saat itu tiba saya tak akan benar-benar siap!

“Program selanjutnya apa?” Betapa sering ada yang bertanya demikian. Dan jujur saja kami gagap atau tak tahu mesti menjawab apa. Ya, walaupun Kalanari adalah institusi yang punya program-program, tapi sebenarnya kami tak pernah tahu dan tak pernah merencanakan dengan tepat kapan program itu akan dijalankan. Tak ada yang namanya program tahunan, bulanan, jangka-jangkaan. Tak pernah pula ada target program atau produksi. Sebagaimana metode latihan keaktoran kami, institusi ini juga dijalankan dengan improvisasi. Kalanari bergerak – dan tersendat – di antara ingsutan kami mengisi perut, kemalasan bangun pagi, kebebalan otak atau kepentingan bermain media sosial. Tapi syukurnya kami selalu punya niatan untuk terus bergerak, menjalankan apa yang telah kami konsepkan, mencoba wujudkan cita-cita dengan terkapai-kapai. Dan, ini pun sebenarnya bisa kami lakukan secara personal tanpa ada yang namanya Kalanari Theatre Movement. 

Find your stopping,” demikian saran Mbah Prapto ketika partisipan latihannya cenderung bergerak terus tanpa henti atau bahkan kehilangan kontrol. Berhenti adalah sebuah momen untuk mengamati sekitar, membaca ruang, wondering, introspeksi, menata napas untuk gerak selanjutnya. Barangkali baik pula bagi Kalanari to find our stopping pada saat yang tepat, nanti..., dan untuk bergerak lagi....

Jeblog, Pancaseming, Kuang, Maret – Mei 2016 

Ibed Surgana Yuga

Catatan: 
Tulisan ini dibuat untuk sebuah buku yang ditulis bersama para penulis dari kelompok-kelompok teater di Jogja, dalam rangka merumuskan ideologi teater masing-masing. Sampai tulisan ini diterbitkan di laman ini, buku dimaksud belum juga terbit karena beberapa kendala. Semua kutipan dalam tulisan ini dinukil dari catatan-catatan refleksi untuk ulang tahun Kalanari Theatre Movement yang keempat, 8 Maret 2016. Menjelang ulang tahun itu saya meminta semua teman yang pernah dan masih singgah di Kalanari untuk menulis catatan singkat tentang persentuhan mereka dengan Kalanari. Catatan-catatan itu – selain sebagai ungkapan untuk mengingat tanggal lahir Kalanari – adalah bacaan penting bagi saya yang selalu ingin tahu tanggapan atas kerja kolaborasi yang mereka jalani bersama saya. Silakan klik nama penulis pada setiap kutipan untuk membaca tulisan lengkapnya. 

0 komentar