Mesin Waktu Bahasa

Penjelajahan Kalanari Theatre Movement mencari bentuk yang paling arkaik dari bahasa melahirkan sebuah lakon, Yo-He-Ho’s Sites. Dalam Salihara International Performing-Arts Festival 2016, para pelakonnya berkeliling seantero areal Komunitas Salihara, menjadikan tubuh bangunan dan ruang-ruang terbuka di sana sebagai panggungnya.

Lima pelakon merangkak di sela deretan kursi penonton di Galeri Salihara, mendengus, menguik, dan menggeram laiknya anjing. Tiba-tiba, salah satu “jantan” berlari menerjang salah satu “betina”. Si “betina” menguik, menggeram kasar, menatap si “jantan” tajam-tajam, balik menerjang.  

Kalanari Theatre Movement mementaskan Yo-He-Ho's Sites pada 3-4 November, sebagai bagian dari Salihara International Performing-Arts Festival 2016 di Komunitas Salihara, Jakarta. Lakon ini merupakan hasil dari eksplorasi Kalanari mencari bentuk paling arkais dari bahasa sebagai elemen berlakon. | Foto: Komunitas Salihara

“Anjing” lainnya pun sama liarnya, kadang berlari, kadang menerjang. Pelan, mereka semakin meninggalkan arena utama, berlarian di antara barisan-barisan kursi penonton, mengganas. Beberapa penonton terdekat sampai refleks membuang badan, seoalh takut disambar pertarungan itu. Pertarungan yang perlahan mereda, menyisakan seekor “jantan” sendirian di tengah arena panggung. 

“Kalanari Theatre Movemet adalah sebuah kelompok teater asal Yogyakarta, ...,” bunyi ucapan si pelakon tiba-tiba tak terkenali. “Di Yogyakarta, kota yang ...,” lagi-lagi, bunyi ucapan itu tak terkenali. Satu demi satu bunyi kata hilang, digantikan bunyi yang bukan bahasa. Hingga akhirnya, seluruh bunyi dari mulutnya adalah bunyi semata, bukan lagi kata dalam bahasa apa pun. Seperti mesin waktu, Yo-He-Ho’s Sites menghadirkan “bahasa” paling arkaik manusia, geraman, dengusan, atau gumaman ritmis. 

Terus berpindah 
Yo-He-Ho’s Sites adalah lakon yang terus berpindah-pindah panggung. Dari Galeri Salihara, para penonton diberi benang wol merah, “diseret” keluar dari ruang galeri, dibawa turun menuju pelataran parkir Komunitas Salihara. Di sana, seorang perempuan menari gemulai, riang. Keriangan itu sirna ketika seorang lelaki datang dan memaksakan persetubuhan.  

Tidak ada lagi ucapan kata yang bisa dicerna. “Dialog” terjadi dalam bentuk dengus, geraman, juga teriakan, atau celotehan bunyi – semuanya bukan bahasa apa pun. Akan tetapi, para pelakon berhasil membangun ketegangan dari “percakapan” bunyi. Seorang lelaki lain memasuki arena, kebingungan menghadapi tangisan si perempuan penari. Si perempaun meratap-ratap, hingga si lelaki tersadar sang perempuan baru saja diperkosa. Sang lelaki marah, memaki sang perempuan dalam geraman dan teriakan tanpa arti.  

Lakon Yo-He-Ho’s Sites memang lahir dari eksplorasi para awak Kalanari mencari bentuk paling arkaik dari bunyi. Sejak 2014, sutradara Ibed Surgana Yuga memeras awaknya untuk meretas batas-batas kemungkinan dari suara sebagai salah satu elemen berlakon. Awal mulanya, mereka menjelajah segala ungkapan verbal dan ungkapan non verbal dalam bahasa ibu masing-masing – kebanyakan pelakon bebahasa ibu – Jawa.  

Lalu pada fase berikutnya, mereka menemukan hipotesis Max Mueller tentang asal-usul bahasa – bahwa suara yang kini dipahami sebagai bahasa berawal dari segala bunyi yang muncul dari kontraksi otot-otot tubuh. Aktivitas fisik itu mengakibatkan usaha pelepasan melalui saluran pernapasan, dan tanpa disengaja menggetarkan pita suara. Dari hipotesis Mueller, para awak Kalanari mencoba melepaskan diri dari segala internalisasi kebudayaan keluarga, utamanya bahasa.  

“Kami mencari kemungkinan bahasa yang paling arkais sebagai elemen berlakon. Tidak mudah, karena kami tetap ingin menggarap lakon Yo-He-Ho’s Sites sebagai lakon teater, bukan lakon tari misalnya. Ketika mengeksplorasi bunyi, bunyi yang dominan diucapkan mulut para pelakon saya adalah idiom bunyi Jawa,” ujar Ibed.  

Ibed menerima tantangan Komunitas Salihara untuk menggarap ulang Yo-He-Ho’s Sites menjadi sebuah pertunjukan site-specific, di mana setiap adegan dan alur cerita dibongkar ulang untuk merespon tubuh gedung ataupun lanskap areal Komunitas Salihara. “Bongkar-pasang alurnya disesuaikan dengan bagian gedung ataupun lanskap yang direspons. Setiap ruang, entah itu tertutup ataupun terbuka, memiliki nuansanya sendiri,” kata Ibed.  

Pekerjaan rumah 
Berlakon di ruang terbuka membuat para pelakon itu kehilangan satu kemewahan ruang pertunjukan tertutup, yaitu penonton yang terfokus. Apalagi ketika pertunjukan di ruang terbuka itu terus berpindah-pindah panggung, membawa penonton bergerak ke seantero sudut-sudut Komunitas Salihara. Di setiap lokasi baru, penonton harus ditaut ulang agar kembali terhubung dan terlibat dengan peristiwa di “panggung” baru.  

Kalanari beruntung memiliki lima pelakon yang punya totalitas yang penuh energi. Mereka – M Dinu Imansyah, Mathori Brilyan, Dayu Prismawati, Rosalia Novia Ariswari, dan Assabti Nur Hudan – relatif mampu menanggung beban untuk berulang kali menaut penonton kepada peristiwa panggung mereka.  

Sepanjang pertunjukan berdurasi 80 menit, mereka berpindah panggung empat kali, dari Galeri Salihara, kemudian di lapangan parkir. Peralihan itu membuat formalitas pertunjukan di galeri – antara lain para penontonnya yang duduk di kursi – mencair,membuat penonton lebih terlibat dengan pertunjukan di galeri – antara lain para penontonnya yang duduk di kursi – mencair, membuat penonton lebih terlibat dengan Yo-He-Ho’s Sites. Dari sana, penonton bergerak lagi ke pelataran samping, menonton tiga pelakon berakting di tiga tangga bersusun.  

Lalu penonton berpindah lagi menuju taman kecil di samping Teater Salihara, kelima pelakon menjadikan bangku dan meja taman menjadi panggung Yo-He-Ho’s Sites. Jarak fisik antara penonton dan pelakon nyaris tak ada lagi. Ditambah dengan bunyi non bahasa yang sangat kental dengan idiom bunyi Jawa – yaitu bunyi mulut menirukan suara kendang gamelan Jawa – adegan itu menjadi adegan terkuat Yo-He-Ho’s Sites 

Akan tetapi, adegan terakhir Yo-He-Ho’s Sites di selasar Salihara tak seberhasil adegan-adegan lainnya. Digulirkan sebagai sambungan adegan di taman kecil, adegan di Selasar terasakan seperti “sisa”, dimainkan dengan sisa-sisa energi lima pelakonnya. Pilihan untuk mendudukkan lagi penonton di deretan kursi-kursi yang rapi, membuat adegan terakhir itu tak tertaut dengan penontonnya. Aliran alur cerita yang melambat menggenapi rasa lelah dalam menontonnya. 

(Aryo Wisanggeni G)  

Sumber: Kompas, Minggu, 6 November 2016, halaman 23

0 komentar