Tertipu Dongeng Cermin Tipu Daya

Geladi Kapai-kapai (atawa Gayuh) dalam Helateater 2015, Komunitas Salihara, 22 April 2015 | Foto: Eva Tobing
Sesosok pria malas bernama Abu memiliki kepercayaan penuh kepada dongeng Emak yang menjelma menjadi sosok dalang. Dirinya  menyatakan bahwa kebahagiaan dapat diraih dengen pertolongan cermin tipu daya. Tetapi, alih-alih bahagia, nyatanya petaka justru yang ia rengkuh.

Empat orang memasuki ruang dengan masing-masing membawa obor. Ditumpahkannya segala keluh hidup, kesengsaraan dan nelangsa menjadi orang marjinal. Kegetiran hidup yang mereka kecap, tak mampu memenuhi sandang hingga papan. Keluh semakin meninggi, cepat dan meledak.

“Ya Allah, Jancuk,” sentak Iyem, istri Abu di dalam panggung.

Lantunan instrumen gamelan pun serentak didendangkan.

Abu sering berkhayal bisa hidup bahagia seperti pangeran dan putri pemilik cermin tipu daya di negeri Nabi Sulaiman. Namun khayalannya terlalu mengawang, Abu tak bisa berpijak di kenyataan hidup yang sebenarnya.

Tetiba sosok dalang muncul, semakin menebalkan alam imajinasi Abu. Dengan cerita koco tipu doyo, semua kebahagiaan dapat diraih seketika. Atas perintah sang dalang, Bulan dan rombongan lenong menghibur Abu dengan tari-tarian, dengan sesembahan dan menuruti keinginan Abu. Meski semu, Abu begitu senang. Batas imaji dan realitanya semakin buram.

Namun, mimpi Abu pecah, Iyem datang merobeknya dengan berapi-api. “Abu, hidupku wes kere, wes susah. Kok yo sempet ndelok dangdut, bukannya nyambut gawe,” keluh Iyem, seraya menangis jengkel. Dilemparkannya selendang kuning Bulan yang masih menempel di tangan Abu. Kemarahan Iyem semakin meledak.

Sebagai pasangan suami isteri dari ekonomi lemah, Abu dan Iyem tak pernah beromansa. Abu terlalu sibuk dengan alam khayalnya, sementara Iyem sudah terlalu lelah untuk menyadarkan Abu. Menariknya ke alam sadar, dan bekerja untuk bisa menghidupi keluarga dengan baik.

Lagi-lagi Abu tak jua peka, bentakan hingga rayuan lembut Iyem mental begitu saja.

“Aku meteng,” ucap Iyem.

Meteng? Sopo yang meteng? Bojo tetangga? Ayam?,” sahut Abu sekenanya.

“Ih... aku yang meteng,” jawab Iyem kesal.

Abu meraba-raba kenyataan, ia masih tak percaya isterinya hamil. Abu akan menjadi ayah.

Manis betul janji Abu yang ingin mengabulkan ngidam. Apapun yang Iyem minta. Namun, janji manis memang tak selalu bergaransi. Abu malah semakin gila dengan fantasinya, dengan koco tipu doyo yang didoktrinkan dalang.

Abu semakin menjadi gila. Otaknya semakin ditutupi koco tipu doyo. Waktunya habis mengkhayal, hingga ia tak mau bekerja lagi. Abu berkelana mencari koco tipu doyo, hingga dirinya basah bermimpi bersama putri khayalannya. Abu seolah lupa, Iyem sedang mengandung benihnya, hasil dari air maninya sendiri.

Iyem hampir kehabisan akal, tak tahu lagi bagaimana menyadarkan suami macam Abu. Dirinya sudah lelah diajak hidup susah, dibebani peliknya jalan Tuhan yang berkelok tak berujung.

“Aduh Gusti, aku salah apa? Uripku nelangsa makin nelangsa,” gumam Iyem bergetar.

Di saat yang bersamaan, Abu justru makin asik dalam perjalannnya menuju negeri Nabi Sulaiman yang dimaksud Dalang. Abu begitu penuh peluh mengejar cahaya semunya. Abu lupa daratan, lupa Iyem dan yang terberat, ia juga lupa Gusti Allah.

Dalam perjalannya mencari koco tipu doyo, Abu terusik perintah majikannnya yang menuntut ia untuk bekerja. Suara itu semakin bising, hingga Abu merasa diteror rentetan perintah.

Abu semakin dekat dengan impiannya, ujung dunia negeri Nabi Sulaiman. Namun harapan kosongnya itu makin terlihat nyata, Abi benar-benar ditipu oleh koco tipu doyo. Benda keramat, kepercayaan leluhur kunonya.

Celakalah Abu, di saat ia sudah meninggalkan kehidupan nyatanya, Dalang justru pergi meninggalkannya. Abu mati dibunuh kepercayaannya.

Pengalaman Baru Menonton Teater
Kalanari Theatre Movement membawakan Kapai-Kapai dengan “menjawakan” naskah Arifin C. Noer. Berawal dengan meniadakan naskah lakon, dan mengembalikannya dengan improvisasi.

Gladi resik pementasan yang berjalan selama satu setengah jam ini, digelar Helateater Salihara 2015 di Teater Atap Salihara, Jakarta Selatan, Rabu (23/4).

Bau tanah basah dan minyak tanah langsung memasuki hidung ketika tiba di ruang yang beratapkan langit. Pergerakan teater yang berdiri di Yogyakarta, tiga tahun silam ini sengaja memilih ruangan terbuka sebagai panggungnya.

“Kami masih menjajaki panggung ruang terbuka karena lebih banyak tantangannya. Bagi kami, semua tempat adalah panggung,” papar Ibed Surgana Yuga, sutradara Kapai-Kapai, usai gladi resik pementasan.

Ibed menambahkan, dirinya tak ingin ada sekat antara penonton dan pemain. “Pemain dan penonton adalah satu bagian dari sebuah peristiwa. Tak perlu ada batas, bau keringat pemain harus tercium, terasa begitu dekat,” sambungnya.

Pementasan yang menggunakan bahasa Jawa ini juga merupakan transformasi kebudayaan Jawa. Segala klenik budaya Jawa yang ada memang diadaptasi langsung dari kehidupan empirik orang Jawa.

“Sengaja saya ubah tokoh Emak, menjadi Dalang agar lebih dekat dengan kebudayaan Jawa yang masih mempercayai Dalang dan wayang,” ujar pria kelahiran Jembrana, Bali ini.

Namun meski sarat akan nilai-nilai budaya, Ibed tak mematok harapan terlalu tinggi. Dirinya hanya ingin memberikan pengalaman baru menonton teater di ruang terbuka. “Karena penonton di Jakarta tak banyak yang mengerti bahasa Jawa, Saya tak berharap penonton mengerti keseluruhan cerita. Saya hanya ingin memberikan pengalaman baru menonton teater di ruang terbuka,” ungkapnya.

Untuk selanjutnya, Kalanari Theatre Movement akan memboyong naskah Kapai-Kapai Atawa Gayuh ini ke Salatiga, Jawa Tengah pada Mei mendatang.

Dian Putri Ramadhani
Mahasiswi Ilmu Jurnalistik, mempunyai minat terhadap seni

Sumber:  buletin.teaterkinasih.org, 05 May 2015, 17:24

0 komentar