Suguhan untuk Arifin C Noer

Kapai-kapai (atawa Gayuh) di Helateater Salihara 2015 | Foto: Witjak Widhi Cahya | Sumber: akarpadinews.com
HELA Teater Salihara dimaknai sebagai pesta teater dan forum perjamuan berbagai ekspresi seniman dan kelompok teater. Forum ini menjadi ajang tampilnya kreativitas teater dari berbagai kelompok teater pilihan dan menjadi tempat berdialog antara seniman dan penonton.

Hela Teater tahun ini yang berlangsung 9-25 April 2015 di Salihara, Jakarta, menyajikan tema: Persembahan Kepada Arifin C Noer, seorang tokoh teater mumpuni yang turut memperkaya tradisi teater modern Indonesia. Goenawan Mohamad pada pembukaan forum menilai, Arifin sebagai salah satu dramawan Indonesia yang merintis teater baru dengan paradigma berbeda. Goenawan menyebut karya-karya Arifin sebagai teater liris. Hela Teater mengeksplorasi naskah-naskah Arifin sesuai gaya estetika panggung masing-masing kelompok teater.

Pertunjukan diawali dengan Madekur dan Tarkeni Atawa Orkes Madun 1 dari Teater Boneka Cing Cing Mong (Solo), dengan sutradara atau dalang, Sri Waluyo dan Rifky Widodo pada (9-10 April 2015). Kisah percintaan antara Madekur (Pencopet) dan Tarkeni (Pelacur) dibawakan dengan wayang Golek, khas Tegalan sebagai ciri utama pertunjukan termasuk dalam dialog Tegalan campur Indonesia dengan kultur Cirebon. Sesekali ditonjolkan para aktor (manusia) yang fungsinya mempertegas penokohan. 

Dalam pertunjukan itu, wayang menjadi karakter dominan dibandingkan aktor manusia. Lawakan yang pas dengan tokoh-tokoh wayang berwajah lucu dan menderita, mewakili kaum marginal, menggiring imajinasi penonton ke persoalan kemiskinan dan kesenjangan status sosial.

Selanjutnya, pertunjukan Mega-Mega dari Prodi Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sutradara Bejo Sulaktono (11-12 April 2015) yang mewakili kelompok teater dari Jakarta. Dengan suguhan lenong, pertunjukan itu mengisahkan khayalan gila Koyal seandainya memenangkan lotre. Selanjutnya ia menebar mimpi yang meracuni pikiran para gelandangan, perempuan tua, lelaki pengangguran hingga pelacur.

Khayalan itu membuat mereka memasuki alam kebahagiaan, meski hanya sesaat. Teater mimpi Arifin itu dibuat menyerupai panggung realisme. Namun, seharusnya IKJ sebagai basis perguruan seni yang melahirkan aktor-aktor realisme, mampu menciptakan peristiwa, tokoh dan pengadegan yang lebih dinamis serta memberi kemungkinan-kemungkinan baru, tidak sekedar memindahkan kenyataan ke atas panggung.

Sosok Darim mencari Darim dalam Kocak-kacik menggambarkan diri manusia yang terombang-ambing dalam pertunjukan Bengkel Mime Teater (Yogyakarta). Andreas Ari Dwianto selaku sutradara mementaskannya dengan gaya pantomime. Menurut Andreas, pantomime menjadi pertunjukan yang dibebaskan dari dominasi teks, mengandalkan tubuh sebagai media utama untuk menyampaikan peristiwa.

Sepertinya, baru kali ini Kocak-Kacik dipentaskan dengan bentuk pantomime, sebuah kerja seni yang berat dan menantang. Kocak-Kacik berkisah tentang realitas kehidupan manusia dalam keseharian dan siapa saja yang membentuk manusia di keluarga, pendidikan, hukum dan agama sebagai upacara menjadi manusia.

Dalam pementasannya, Bengkel Mime menggubah teks-teks puitik Arifin menjadi gerakan pantomime yang efektif, meniru aktivitas manusia sehari-hari. Seperti pada adegan di sekolah, di mana siswa dibentuk menjadi pengikut, Andreas menggunakan gerakan lagu Topi Saya Bundar, yang populer di telinga anak-anak. Panggung yang tanpa embel-embel artistik yang disuguhkan Bengkel Mime bergaya minimalis dari kostum seragam hingga properti yang digunakan. Meski tidak mudah dipahami menyoal pencarian eksistensi manusia, dengan tanpa mengucapkan kata-kata. 

Hampir serupa dengan tokoh-tokoh dalam naskah Arifin, Jumena Martawangsa, juragan tua yang kaya raya merasakan pergolakan batin dan pikiran sebagai peristiwa kontemplatif. Teater Gardanalla (Yogyakarta), dengan  sutradara Joned Suryatmoko mementaskan Sumur Tanpa Dasar (18-19 April 2015) dengan bentuk teater surealisme. Joned mengarahkan penonton mengikuti permainan lapisan “nyata” dan “tak nyata”.

 Dari artistik yang ditampilkan sudah memberikan penanda adegan. Peti mati di samping kiri panggung yang menembus ke jendela, seolah menjadi penanda menghubungkan alam nyata dan tak nyata tersebut. Aktor bermain di antara dua ruang, di atas panggung dan di belakang jendela. Jumena selalu dipenuhi pikiran perselingkuhan Iis, sang istri dengan Marjuki, adiknya. Khayalan Jumena terhadap Iis disajikan dengan banal. Iis serupa mesin seks yang melayani hasrat Marzuki dan bayangannya, mengganggu pikiran penonton. Tidak ada yang menyiksa manusia melebihi rasa kesepian dan kehampaan menyerupai Sumur Tanpa Dasar. Akhirnya, Jumena bunuh diri dan membakar rumahnya. Jumena yang terlalu dikuasai pikiran juga tak sadar dirinya mati. Segala penderitaan Jumena diawali dan diakhiri dengan pikiran.

Dalam Kapai-Kapai (Awata Gayuh) Kalanari Teater Movement (Yogyakarta), sutradara Ibed Surgana Yuga, menyulap Ampiteater Salihara menjadi panggung berlantai jerami, beratap langit dan dikelilingi obor yang berdebu dan asapnya, serasa di alam.  Kapai-Kapai bercerita tentang abu dan halusinasi. Termasuk sosok Emak yang membuat Abu, bermimpi mencari cermin tipu daya untuk dapat mewujudkan segala keinginan.

Adapun yang menarik dari pertunjukan Kapai-Kapai yang dimaknai sebagai mimpi dan keinginan adalah naskah Arifin yang luwes, mampu dikaitkan dengan idiom wayang. Salah satunya dengan mengalihkan Emak menjadi Dalang dan memindahkan bahasa Indonesia menjadi bahasa Jawa pedalangan dengan Jawa kuno, Jawa Kawi hingga Jawa baru yang merakyat. Ibed merasa, Jawa menjadi bahasa organik bagi pemainnya. Hampir secara total terdapat pergeseran bentuk Kapai-Kapai menjadi Gayuh.

Abu yang diperankan Andika Ananda berjalan simpuh menyeret tubuhnya serupa orang Jawa totok ketika menghadap orang yang ditinggikan (dalam pentas ini adalah dalang). Tidak hanya Wayang, hampir seluruh pertunjukan yang bekerjasama dengan Sanggar Bangun Budaya memasukan gaya teater tradisi baik dalam ludrukan, musik dengan tembang dan gamelan maupun tarian.

Sesekali penonton dikejutkan dengan gerak tubuh aktor yang terlihat membahayakan, ketegangan yang fleksibel dan penggunaan mobilitas ruang hingga ke atap gedung. Sayangnya, teater mobilitas ini hanya sekedar menjadi pemandangan mata dan penonton lebih memilih mematung di kursi.

Menurut Ibed, penyikapan teks Kapai-Kapai membahasakan kosmologi kebudayaan Jawa menuju kehidupan kekinian. Ibed yang asli Bali dan mendalami budaya Jawa, menjadikan Kapai-Kapai sebagai dialog antara tradisi dan modern. Diakhiri ditemukannya sandal jepit sebagai cermin tipu daya sebagai metafora impian kaum kere.

Penutupan Hela Teater menyajikan dramatic reading hasil kelas akting Salihara yang juga mementaskan Madekur dan Tarkeni Awata Orkes Madun 1, sutradara Iswadi Pratama. Tubuh aktor bermain dengan bebas, terutama Waska (Sita Nursanti) yang luwes menggunakan bahasa Sunda. Pertunjukan ini mampu menghibur tanpa melepaskan esensi kegetiran. Seperti ucapan Iswadi, teks-teks Arifin seolah bercanda, tapi sekaligus menonjok.   

Selama hampir satu bulan, Hela Teater menyampaikan berbagai pendekatan gaya berbeda kelompok-kelompok teater dari gaya teater surealis, realis, pantomime, komedi hingga wayang. Naskah-naskah Arifin membawa penonton memasuki perjalanan ulang alik antara layer demi layer realitas dan khayali. Naskah-naskah Arifin dengan teks puitiknya unggul mengeksplorasi suasana.

Mengajak kita memasuki dunia  mimpi, tidak setia pada plot dan memberikan tempat untuk kemungkinan eksplorasi yang lebih terbuka.  Selain dalam dunia ide, perjalanan ulang-alik Arifin menembus pada pijakan interkulturalisme tradisi dan modern. Seperti dalam esai-esai Arifin: Teater Indonesia bukan teater Barat di Timur dan Teater Indonesia bukan teater tanpa masa silam yang telah dibuktikan oleh penampilan grup-grup teater yang didominasi asal Yogyakarta.

Ratu Selvi Agnesia

Sumber: 
AKARPADINEWS.COM, 28-04-2015 19:38:18

0 komentar