“Pooh-pooh Somatic”: Tebaran Energi Kinestetik lewat Jemuran Pakaian

KORANBERNAS.ID — Tali jemuran pakaian dibentang melintang pada pohon satu ke pohon lain. Dan beberapa pakaian baik jenis pakaian perempuan maupun laki-laki bertebaran bersama tempat duduk penonton lesehan. Lima aktor Kalanari Theatre Movement menaruh pakaian di berbagai tempat di sekitar pertunjukan yang digelar outdoor di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjoesoemantri (PKKH) UGM Yogyakarta, Senin – Selasa (21-22 Agustus 2017) mulai pukul 20.00 WIB.

Pooh-pooh Somatic: On Crowd of Biographies di PKKH UGM, 21 Agustus 2017 | Foto: Yudha Wibisono

Dalam pentas teater bertajuk Pooh-pooh Somatic: On Crowd of Biographies yang digagas sekaligus disutradarai oleh Ibed Surgana Yuga serta didukung koranbernas.id ini, pemain membawakan teater tubuh yang tidak seperti biasanya.

Ibed menyebutkan, mereka sedang mencoba pola baru dramatika yang berbeda dengan yang pernah dilakukan dalam pertunjukan Kalanari sebelumnya. Kalanari selama ini dikenal sebagai teater yang berbasis site-specific.

Pilihan kali ini diambil memang penuh risiko, Ibed ingin pilihan berisiko ini bisa meruntuhkan bangunan estetik yang dibangun selama ini, hal itu ia jelaskan dalam booklet pertunjukannya.

Teks Pooh-pooh Somatic merupakan eksperimen tentang pertanyaan kronologis mengenai bagaimana bahasa sebelum kata. Hal ini terlihat bagaimana kelima aktor bermain dengan bahasa tubuh dan dialog seperti kata yang tidak jelas, seperti bergumam kadang interjeksi, sedih, senyum, menangis dan lainnya.

Teori mengenai pertanyaan bahasa sebalum kata tersebut Ibed temukan dengan spekulasi tentang temuan teori Max Muller, filolog orientalis akhir abad 19 di Jerman. Pooh-pooh merupakan teori tentang asal mula bahasa, bahwa kata-kata awal manusia muncul dari bunyi-bunyi eskpresi emosional yang dipicu oleh rasa sakit, senang, terkejut dan lainnya. Kemudian teori ini menurut Ibed disandingkan dengan somatic, sebuah term dalam ranah biologi.

Penonton diajak memasuki ruang dimana visual dipenuhi dengan tubuh pada aktivitas kecerdasan kinestetik. Disebut kecerdasan karena berkaitan dengan kemampuan menggunakan gerak seluruh tubuh para aktor. Bagaimana bahasa dalam pengertian ketubuhan mulai muncul dari setiap aktor ketika mengolah gerakan. Apa yang disampaikan seperti sebuah koordinasi seluruh gerakan tubuhnya yang ingin mengatakan sesuatu.

Kelima aktor bekerja cukup keras selama pertunjukan, ia harus merespon ratusan pakaian yang terbentang di jemuran dan yang berserakan ditanah. Gerak kelima aktor seperti sebuah fase di mana seperti mengulang fase kecerdasan kinestetik manusia dimulai.

Ada yang berjalan sambil membungkuk, bergelantungan mengenakan pakaian yang masih dijemur serta mengelilingi area pertunjukan dengan interjeksi suara dan bunyi dari teriakan, jeritan, hembusan napas, atau bunyi gerak tubuh aktor itu sendiri. Setiap gerakan yang berlangsung seperti sedang dinikmati tanpa perlu menggunakan dramatika ada saat yang dibutuhkan. Sepertinya inilah yang dimaksud di mana dramatika pertunjukan tidak lagi dibuthukan ketika yang disajikan bukan suatu bahasa yang harus linier atau sebab akibat.

Tubuh yang acak, gerakan yang rumit, gestur-gestur yang tidak umum. Semua tersaji menjadi metafora dimana ada kekuatan bahasa yang lain selain kata-kata. Kata yang mungkin bisa saja diabaikan karena tidak terlalu penting. Ada yang lebih kuat di dalam komunikasi verbal yaitu bahasa gerak dan suara.

Dari gerakan yang dihasilkan kelima aktor, semuanya memiliki kekuatan masing-masing. Meskipun pada saat tertentu, ada gerakan yang dibuat rampak dengan tempo yang sudah diatur sesuai dengan musik ilustrasi yang dimainkan.

Apakah ini usaha untuk mengisi dramatika dalam sebuah aktivitas yang monton. Belum tentu iya. Siapa tahu juga ini bagian dari rekayasa para pelakonnya yang kemudian dimanipulasi sutradaranya. Seperti yang Ibed katakan bahwa teks pertunjukan ini merupakan pecahan-pecahan biografi pelakonnya. Pertemuan manipulatif antara pelakon dan sutradara inilah yang berubah menjadi kekacauan yang menciptakan peristiwa pada momen tertentu.

Terkait intensitasnya. Di mana hal itu tampak pada saat mereka menjatuhkan dirinya ke tanah dan bagaimana posisi atau teknik yang digunakan untuk jatuh. Rasa sakit inilah yang kemudian ingin disampaikan kepada penonton bahwa ada sebuah kinerja yang sedang berlangsung di dalam tubuh manusia bahwa stimulasi kecerdasan kinestetik sedang bermain di sana.

Semua saling berkelindan, tidak ada yang teratur. Tidak ada yang berusaha membuat dramatika, tidak ada pesan khusus. Bahkan tidak ada teror yang menyelinap melalui visual. Hanya lalu lalang energi kinetik dalam kerumunan. Di mana kerumunan dari kelima aktor tersebut saling berkomunikasi bersama penonton juga melalui kontraksi otot. Siapa tahu dengan respon melalui pesan dari kontraksi otot tersebut sebetulnya lahirlah “dramatika baru” dalam eksperimen yang sedang berlangsung ini. (*/yve)

Tugeg Sundjojo

Sumber: 
KORANBERNAS.ID - 22 Agustus 2017

0 komentar