Kalanari: Pengalaman akan Teks

Refleksi Okta Firmansyah untuk Empat Tahun Kalanari 

Belum lama saya terlibat dalam proses kreatif (tepatnya: belajar) di Kalanari Theatre Movement. Terhitung sejak Kalanari menyiapkan pertunjukan teaternya, Panji Amabar Pasir, di akhir tahun 2013 hingga bengkel pertunjukan Intimasi di tahun 2015. Dalam rentang waktu tersebut, yang saya rasakan adalah: rasa jenak bersama Kalanari. Karena bagi saya, “pengalaman” bersama Kalanari amat mudah untuk dinikmati.

Okta Firmansyah dalam Panji Amabar Pasir, Omahkebon Guesthouse, 29 & 30 November 2013 | Foto: Pieter Andas

Ini adalah hal yang saya dahulukan: menikmati. Tidak diperlukan pengorbanan apa pun untuk menikmati pengalaman bersama Kalanari, kecuali sikap menyerahkan diri “sepenuhnya”. Dengan begitu, setidaknya saya memperoleh suatu kualitas yang sama sekali “baru” yang dengan sendirinya tidak sama dengan pengalaman sebelumnya. Lain halnya jika saya malah mempermasalahkan pengalaman-pengalaman itu lebih dulu—dalam maksud tidak menikmati, tapi justru mencari penjelasan dan meginterpretasi pengalaman-pengalaman tersebut. Jika demikian, kesulitan mungkin saja akan timbul atau bisa jadi saya hanya sejenak bersama Kalanari.

Misalnya tentang pengalaman akan teks—sengaja saya menyebutnya sebagai pengalaman, dengan menyebutnya sebagai pengalaman, setidaknya saya telah mengalami, menjalani dan menanggung akan teks tersebut. Sebelumnya, teks yang saya alami (dalam model tertentu) dalam disiplin ilmu sastra adalah sebuah bentuk (form), baik berupa tulisan maupun tuturan. Teks bukanlah concept yang abstrak, seperti ide, makna atau bahkan impresi; tapi berpotensi mengandung hal-hal yang concept. Akan tetapi, teks yang “macam ini” lantas meluas ketika saya berada di Kalanari. Dalam setiap pengaryaan teater Kalanari (sependek yang saya alami), teks menjadi segala sesuatu yang “potensial” dijadikan rujukan atau sumber nilai penciptaan karya. Bisa berupa kenyataan objektif di luar hidup si pencipta (sutradara, aktor, penata artistik, bahkan perangkat pertunjukan lainnya seperti penonton) atau kenyataan subjektif dalam diri si pencipta itu sendiri. Jadi, tidak melulu teks dialami sebagai tulisan atau tuturan yang mengandung kata-kata yang “beramanat” dan berpesan. “Di” Kalanari teks bukan sekadar form tapi juga concept; teks adalah apa pun. Antara teks yang saya alami sebelumnya dengan teks “di” Kalanari terlihat ada “ketegangan”—meski keduanya memiliki “kesesuaian”, yakni teks sebagai sebuah jaringan (intertekstual), yang saling kutip-mengutip, hingga sebuah teks menjadi pabrik kutipan atas teka-teks lain. Masing-masing teks saling berpaut untuk kemudian merancang teks yang lain (baru). Ketegangan yang sengaja saya kesampingkan guna menikmati pengalaman teks Kalanari.

Hematnya yang pertama, andaikan saya mempermasalahkan pengalaman tentang teks tersebut lebih dulu ketimbang menikmatinya, seperti yang telah saya sebut sebelumnya, bisa jadi saya merasa “sulit” bersama Kalanari dan sejenak saja di sana. Yang kedua, saat ini saya (masih) ingin menikmati pengalaman-pengalaman bersama Kalanari, terutama pengalaman (lainnya) tentang “Teater sangat sederhana. Bisa dilakukan hanya dengan mencuci muka setelah bangun tidur atau dengan menyapa tetangga kita” (tweet @kalanari, 6 Februari 2016). Dan yang ketiga, matur nuwun dan tabik, Kalanari. Selamat ulang tahun yang ke-4.

0 komentar