Mengalami dari Melupakan

Kapai-kapai (atawa Gayuh) di Universitas Muria Kudus, 15 Mei 2015 | Foto: Doni Marta
Esei pertunjukan Kapai-Kapai (atawa Gayuh) Kalanari Theatre Movement; Senin, 18 Mei 2015, IAIN Salatiga

Oleh:
Riyadhus Shalihin

Berada di dalam pertunjukan Kapai-kapai (atawa Gayuh) dari Kalanari Theatre Movement akan selalu rentan berhadapan dengan tipisnya batas antara di dalam pertunjukan dan di dalam sebelum pertunjukan. Ibed Surgana Yuga melesakkan desain kultural untuk meruak masuk ke dalam medan pemaknaan Kapai-Kapai, dikonfrontasi dengan apa yang disimpan oleh Arifin C Noer di dalam naskah, dan apa yang disimpan oleh publik terhadap naskah Kapai-Kapai.  

Pertanyaan yang mendesak adalah bagaimana strategi memetakan publik. Di mana publik ini adalah penonton yang berjarak dari penulisan Kapai-Kapai di tahun 1970, mereka adalah bagian dari generasi yang kehilangan referensi konteks penciptaan naskah.  Melihat peluang berbagai ketegangan batas tersebut, Kalanari Theatre Movement justru melakukan banyak penyusupan ke dalamnya, pada pertunjukan mereka justru batas tersebut dibiarkan untuk saling melapisi satu sama lain, tanpa harus risau kehilangan endapan makna.

Kapai-Kapai (atawa Gayuh) tidak dapat dilihat dari batas yang memisahkan antara tubuh yang melihat dan tubuh yang mengalami. Melihat dan mengalami berangsur-angsur tercairkan, saling melilit di dalam pertunjukan. Editing penyutradaraan yang dilakukan oleh Ibed Surgana Yuga tidak berusaha menekan struktur pertunjukan untuk memadat menjadi kotak tegang, tetapi diletupkan menjadi ledakan-ledakan kecil yang bertebaran, penebaran yang tidak diawasi, hanya disiapkan pemicu hulu ledaknya saja. Pada setiap ledakannya kita selalu kehilangan pegangan struktur, sebab lantai pertunjukan selalu goyah, terkadang amblas dan bolong. Moment-moment yang dibuat dalam lantai pertunjukan begitu licin dan kasar sekaligus, lahir dari pemiuhan antara peristiwa dramatik dan bocornya tubuh-tubuh sebelum teater.

Menjelang pertunjukan dari luar teks
Jam 13:00, areal kompleks Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga masih lengang. Beberapa mahasiswa masih berada di kelas masing-masing, hanya ada beberapa yang terlihat bersantai di halaman kelas. Peristiwa lengang dan santai juga berlangsung di dalam aula serbaguna IAIN Salatiga, di mana beberapa aktor dari Kalanari Theatre Movement dan Sanggar Bangun Budaya bersantai bersama, relaks dan lepas. Beberapa ada yang sedang tertidur santai, beberapa tampak saling memijat punggung temannya yang lain. Gedung serbaguna dengan panggung proscenium ini bukanlah tempat untuk pertunjukan mereka, gedung ini hanya transit istirahat mereka.

Halaman yang berada di depan gedung serbaguna tersebutlah lokus pertunjukan mereka sebenarnya. Beberapa bambu penyangga obor tampak sudah berdiri, juga panggung untuk latar menonton wayang kulit, namun Miftakul Efendi sebagai penata artistik mengubah desain gunungan wayang itu dengan bahan kayu, sebagai seorang sarjana kriya kayu, dirinya tidak membuat pola serupa gunungan pada umumnya. Serat-serat kayu itu hanya berasal dari pola-pola dasar simbol wayang, dan tekhnik penyerutan yang dilakukannya tetap meninggalkan warna dasar kayu yang kuat. Begitu juga dengan tokoh-tokoh pewayangan yang dikerjakannya, berwujud sebagai manusia yang sederhana, ulir-ulir kayunya terasa berjejak, tidak diberi kosmetik.
           
Ruang pertunjukan ini belum terasa ada genggaman artistik yang menarik kita untuk tertegun padanya. Ruang ini terasa biasa saja, saya beberapa kali bolak-balik melihat adakah garis penyuasanaan yang dibangun oleh Miftakul Efendi dalam ruang tersebut, tetapi tetap saja semua terasa biasa saja. Perhatian saya hanya tersedot oleh pohon beringin yang berada di belakang ruang dalang, pohon beringin besar itu dibelah tepat di bagian tengahnya, namun beberapa serat pepohonannya masih tersisa, selusur yang tetap terasa aneh sebab terpotong dari atas.
           
Adzan ashar telah berlalu setengah jam lalu, menjelang pukul 16:30 beberapa aktor dan tim artistik menyambut datangnya senja. Mereka mengambil palu, tang, gergaji dan beberapa perkakas kayu lainnya, sutradara dan para pemusik mulai menaruh gamelan, gong, kecapi, biola dan set drum pada tempatnya. Gairah menjelang malam terasa menggeliat, bunyi bambu-bambu yang ditancapkan di lantai dan kesibukan memeriksa minyak di dalam sumbu menyengat saya. Ada kehangatan yang sedang disulut pada persiapan tersebut, terasa bukan sebagai persiapan semata, seakan malam menjemput desain pertunjukan Kapai-Kapai (atawa Gayuh), dan tersempurnakan oleh gelap malam. Saya mengingat bagaimana antusiasme warga Desa Banjaran yang berkerumun menjelang malam untuk menyaksikan pertunjukan Longser (teater tradisi Jawa Barat), lapangan tempat pertunjukan yang saat sore hanya lapangan biasa mulai terumuskan oleh malam sebagai ruang untuk pertunjukan. Longser yang hanya menggunakan sebuah bambu dengan tiga ruas sumbu api (oncor) tersebut memberikan bayang di balik malam sebagai ruang bagi aktor untuk bersembunyi juga muncul, gelap membayang dan api permainan mulai dinyalakan. Batas antara pemain dan penonton luntur, batas waktu pun luntur karena hanya dengan mengitari  bambu (oncor) maka kita bebas melintasi berbagai dimensi waktu. Waktu dalam Longser siklis dan berulang-ulang, terjadi upaya peleburan antara waktu kini dan waktu lampau.

Pada pertunjukan Kapai-Kapai (atawa Gayuh) gairah untuk melebur dalam malam dimulai dengan beberapa tim artistik yang membawa banyak jerami kayu untuk ditebarkan di lantai pertunjukan. Ruang yang tadi terasa melompong mulai menunjukan garis padatnya, dan bebayang pertunjukan mulai terasa hadir. Selepas maghrib kita dapat melihat gairah malam yang menggoda dalam ruang pertunjukan, beberapa penari dari Sanggar Bangun Budaya mulai menata dirinya, para penari Dayak Grasak ini lalu melilitkan jubah yang terlihat menakutkan, dari bahan dasar karung goni dan digambari berbagai imaji tentang monster-monster mistis di Jawa. Aktor mulai melakukan pemanasan, namun tetap suasana rileks tak goyah sedikitpun, menjelang pertunjukan beberapa di antara mereka tetap bercanda dan saling melemparkan guyonan.  Beberapa lainnya mulai memasang lampu neon di dalam tiang-tiang lampu yang dibuat dari ukiran bambu, namun api dari obor belum dinyalakan sehingga menjelang semakin malam ruang pertunjukan terasa semakin gelap.

Jawa dari linguistik tubuh para aktor
Pada panggung mereka tidak ada garis yang jelas di manakah sebaiknya kita melihat pertunjukan mereka. Pada posisi di manakah saya bisa menempatkan tubuh saya berhadapan dengan pertunjukan mereka.

Ibed Surgana Yuga, memberikan prakata singkat tentang bagaimana mereka melakukan pencerminan pada kelompok Sanggar Bangun Budaya, saling memberi dan menyerap. Proses yang dimulai pertama kali pada Mimbar Teater Indonesia di Surakarta ini menjalin ikatan yang saling membocorkan, antara Kalanari theatre Movement yang notabene mengerami pendidikan teater modern dan Sanggar Bangun Budaya yang mempelajari teaternya dari laku organis keseharian. Kalanari Theatre Movement melahirkan teater dari bacaan dan pustaka pertunjukan, Sanggar Bangun Budaya melahirkan teaternya dari jejak kaki di sawah yang masih bersisa di tangan mereka. Menjadi menarik bagaimana membayangkan antara teater yang diserap dari membaca teks, dan teater yang terserap dari konteks, hubungan keduanya menjadi cara melihat yang berbeda, cara melihat yang tidak bisa dimulai dari membatasi antara ruang aktor dan ruang publik, sebab pada proses ini keduanya telah terbiaskan. Di sela-sela pembicaraan Ibed Surgana Yuga yang memberikan prakata, keempat aktor menyalakan obor yang terletak di antara penonton. Andika Ananda, Dayu Prismawati, Vivin L Prinka dan Mathori Brilyan mendatangi satu persatu posisi obor untuk mereka nyalakan dengan sumbu api di tangan. Keempat aktor ini melakukannya tanpa ada upaya tubuh untuk dilihat, mereka tidak berlaku seperti aktor yang akan memberikan bayangan laku, tapi murni merasuki ruang sebagai penerang ruang.

Setelah seluruh obor dinyalakan, Ibed Surgana Yuga pun menyelesaikan pembicaraannya. Ruang terasa hening sejenak, lalu keempat aktor yang pada permulaan menyalakan obor berdiam diri,  mulai saling berbicara. Pembicaraan yang tidak berupaya hadir sebagai dialog antara pemain, tidak juga sebagai solilokui yang personal antara peran dan masa lalu peran. Pembicaraan dari keempat aktor yang datang dari empat arah ini lebih seperti umpatan dan muntahan yang sudah lama tertahan, tentang kemiskinan dan penderitaan yang terus berdiam di tubuh mereka. Umpatan ini menjadi semacam ritus kemiskinan, sebab diulang-ulang dan terus dibunyikan, menjadi frekuensi yang terus mengiang di telinga. Caci maki terhadap diri mereka sendiri ini terus berdengung, dan di sela-sela kalimat-kalimat yang termuntahkan itu merasuk bebunyian suluk yang membuat ruang terasa pucat. Di tengah-tengah rentetan bunyi tersebut, Iyem 1 (diperankan oleh Dayu Prismawati)  mengaduh dan berteriak ‘Masya Allah, jiancuk’, sebuah lompatan ruang untuk mengakhiri kemiskinan dan keilahian melalui linguistik kultur yang jujur.
           
Kemisikinan, mimpi dan mistisme yang dikandung dalam Kapai-Kapai (atawa Gayuh) menjadikan sosok Abu 1 (diperankan oleh Andika Ananda) sebagai figur paradoks. Di satu sisi dirinya terus bermimpi menjadi orang kaya, tapi di sisi lain tidak ada upaya darinya untuk merealisasikan mimpi tersebut. Abu adalah sosok yang terus tertidur, dan tetap nyaman di dalam mimpinya, yang menginginkan ketika bangun suasana megah gemerlap mengelilinginya. Iyem selalu merasa tidak memiliki akal lain untuk mengingatkan Abu akan kelakuannya, Iyem selalu marah dan meledak melihat apa yang dilakukan suaminya.
           
Abu selalu memiliki cara, untuk menahan dan menggoda ledakan kemarahan istrinya. Struktur bahasa yang digunakan dalam pertunjukan ini menaruh bahasa Jawa sebagai ruang pulang-pergi, bagaimana teks itu bisa hidup dari bahasa Jawa sebagai konteks kecil, bukan sebagai fenomena besar yang mengidealisasikan narasi besar Jawa atau narasi besar yang terdapat pada Kapai-kapai-nya Arifin C Noer. Ibed Surgana Yuga menggunakan bahasa Jawa sebagai proses mengunyah kebudayaan yang hidup di tubuh Jawa, tubuh yang bergerak selama satu jam setengah di atas pertunjukan. Tubuh yang dilahirkan dari kebudayaan tubuh, bukan dari teks Kapai-Kapai, sebab bahasa tidak hanya digunakan sebagai pengganti teks bahasa Indonesia tapi lebih menjadikan para aktor melahirkan linguistik tubuh mereka sendiri, dari lingkungan tubuh mereka sendiri. Persoalaan bahasa akan merenggut tidak hanya pengucapan dalam lingkungan teks, tetapi dirinya juga akan membetot laku tubuh dan laku ruang untuk menjadi penumpu atas bahasa itu sendiri, jika tidak begitu, maka bahasa hanya akan menjadi keterasingan teks atas tubuh dan ruang yang bergerak.

Bahasa Jawa juga memiliki jejaring ruwet dengan perkara politik kejawaan dan apa yang berada di kultur Jawa secara lebih kompleks. Ibed Surgana Yuga tidak ingin mendekati bahasa Jawa yang digunakannya dalam pertunjukan ini ke dalam wilayah tersebut, dirinya ingin menangkap narasi-narasi kecil yang lahir dari kebudayaan tubuh para aktornya. Aktor yang mendiami seni tradisi Jawa dengan lebih tekun melahirkan linguistik tubuh khas Sanggar Bangun Budaya, aktor yang berada pada ke-diantara-an Jawa dan kultur urban melahirkan linguistik tubuh khas Kalanari Theatre Movement yang berdiam di Jogjakarta, juga Ibed Surgana Yuga sebagai sutradara melihat Jawa yang dilahirkan dari tubuhnya yang didiami oleh kebudayaan Bali.

Bahasa itu mempengaruhi ruang, seperti ketika Abu mulai bermimpi. Dari sudut belakang pertunjukan, Dalang (diperankan oleh untung pribadi) masuk dengan melantunkan komat-kamit pewayangan, beberapa saat dirinya memainkan gunungan wayang di bawah pohon besar. Abu terpana, dan dirinya pun langsung takzim dan tekun melihatnya. Dongeng itu adalah buaian, dan sebagai pembuai, pertunjukan ini menyutradarai penonton yang melihat juga sebagai Abu. Ketika Abu duduk dengan penuh ketekunan melihat lakon tersebut sedang dimainkan, Abu membelakangi penonton sekaligus berada pada posisi ruang menonton. Abu yang menonton lakon, dan kita yang menonton Abu sedang menonton lakon menjadi sesama Abu yang saling terbodohi oleh buai lakon. Strategi tonton-menonton ini menjadikan penonton tidak hanya sebagai mereka yang berdiri di luar pertunjukan, tetapi juga mereka yang ada di dalam pertunjukan.  Setelahnya maka Dalang memanggil dua tokoh yang menjadi kaki tangannya, yaitu Bulan (diperankah oleh Gandez Sholeekah) dan Sang Kelam (diperankan oleh Okta Firmansyah). Bulan sebagai tokoh yang memberikan mimpi-mimpi, dan Sang Kelam sebagai tokoh yang mengingatkan seberapa jauh Abu sudah berjalan, membodohi dirinya sendiri.

Pada sisi ini Bulan memberikan dongengnya, dan Abu mulai tertidur lagi, selendang Bulan ditanggalkannya untuk menyelimuti tidur Abu. Bahasa itu akhirnya yang melesak ke dalam mimpi Abu. ‘Jianjuk’ dan ‘Diancuk’, dengan pukulan keras di tangannya, Iyem memaki-maki suaminya bagaimana bisa sesiang ini dia masih tidur dengan pulas, sementara rezeki tidak bisa datang begitu saja. Di badannya ada sebuah selendang, ketika ditanya milik siapakah selendang tersebut, Abu mengelak justru itu adalah selendang yang ingin diberikannya kepada Iyem. Abu selalu memiliki cara untuk mengelak dan menggoda.
           
Pencerminan juga dilakukan oleh Ibed Surgana Yuga pada tokoh Iyem dan Abu. Pada saat Iyem 1 (Dayu Prismawati) terengah-engah berusaha melahirkan anaknya, tiba-tiba Iyem 2 (Vivin L Prinka) terbujur di depan penonton. Abu 1 (Andika Ananda) justru berada di samping Iyem 2 (Vivin L Prinka) ketika mereka hendak menyaksikan kelahiran anaknya masing-masing, namun justru mereka tidak bisa saling melihat posisi dirinya sendiri. Mereka saling tertukar, seluruh yang miskin adalah cermin dari  kemiskinan yang lain juga. Di tengah-tengah khaos yang terjadi dalam saling ketertukaran antara anak-istri dan suami, tiba-tiba suara yang datang dari kejauhan menginterupsi peristiwa tersebut.

Pada ruang yang jauh, seseorang yang menggunakan kopiah, baju khas muslim sedang berkhotbah. Di atas kelas fakultas, yang jauh dari area permainan, tokoh tersebut menghimbau bahwa hanya agamalah yang akan menyelamatkan manusia. Beragama seperti bercermin di layar televisi, yang miskin dan kaya sama saja di depan layar televisi. Beragama menurut tokoh tersebut adalah menyelamatkan diri untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya rezeki. Pada jarak yang terpisah antara ruang berceramah sang tokoh tersebut, kita dapat melihat Abu sudah terduduk sepi sendiri di depan Dalang. Tekhnik dissolve dalam sinematografi ini digunakan untuk mengisi kekosongan adegan satu sama lain, pada saat ceramah belum selesai justru Abu sudah terduduk manis di depan Dalang yang akan memulai lelakon wayangnya yang baru. Lakon ini seperti pada lakon-lakon Dalang sebelumnya, membuat Abu cemburu dan terus memburu fantasi kehidupan yang mengawang-awang, dan sekali lagi pertunjukan ini berhasil memposisikan antara Abu yang menonton dan penonton yang menonton Abu sebagai sesama Abu, saling mengalami Abu.

Pertunjukan ini terkadang memberikan imaji yang hancur dan koyak, seakan lepas sama sekali dari penyutradaraan. Porak poranda ini yang menggilas Abu dan Iyem oleh serombongan para penari Dayak Grasak, mereka merangsek masuk ke dalam ruang pertunjukan dengan membawa alat-alat musik mereka. Bergerak bagai gerinda yang menggerayangi tubuh-tubuh para aktor. Abu lagi-lagi terjatuh, Iyem dilindas dan digilas. Pada peristiwa ini ada khaosmos yang diciptakan dari gairah Bali yang terendap di dalam tubuh Ibed Surgana Yuga, sebagai seorang Bali dia memecahkan adegan tersebut menjadi buncahan yang keluar dari gambar adegan. Meloncat dan menembus, bingkai peristiwa. Beberapa penonton ada yang merasa kasihan, beberapa ada yang termediasi hasrat menyiksa di dalam dirinya.

Memangsa tubuhku sendiri, memompa batas kemanusiaan kita
Peristiwa yang digilas oleh para pengrawit ini lalu berlanjut pada adegan-adegan yang berloncatan, keluar dari plot ruang yang tertangkap oleh persepsi penonton. Pada saat mereka begitu penasaran mencari di manakah letak cermin tipu daya, Abu 1 (Andika Ananda) berusaha mencari letak cermin tipu daya dengan menggandeng Iyem 2 (Vivin L Prinka), sedangkan Abu 2 (Mathori Brilyan) menggandeng Iyem 1 (Dayu Prismawati) untuk mencari letak cermin tipu daya. Keempat Abu dan Iyem ini berlepasan dari ruang panggung, mereka masuk ke beberapa lantai fakultas, dengan membawa kayu panjang dengan lampu neon kecil di atasnya. Mereka berteriak, bertengkar satu sama lain untuk mencari cermin tipu daya tersebut, mereka menaiki satu lantai kelas ke lantai kelas lainnya, terkadang juga mereka berteriak di dinding pagar sembari terus menggerutui nasib mereka sendiri. Setelah menjelajahi kelas namun mereka tidak juga menemukan cermin tipu daya tersebut, akhirnya mereka menuruni ruang fakultas dan mencari-cari di halaman kelas. Mereka menaiki pepohonan, menaiki besi-besi penyangga bangunan, ada yang berdiri di atas tiang penyangga bendera, semuanya merayapi ruang yang telah berlepasan keluar dari pola menonton. Beberapa penonton ada yang enggan mengikuti arah lepasan tersebut, beberapa tetap terduduk di ruangnya sendiri, namun beberapa dari mereka ada yang mengikuti frasa demi frasa pelepasan tubuh dari ruang pertama.

Pembatalan tragis selalu dilakukan untuk menutup kemungkinan penonton hanyut dalam intensi tragik teater, kebocoran dibiarkan hadir dan tidak diawasi sebagai cela teater. Ibed Surgana Yuga dan Miftakul Efendi melesakkan air dari tabung penyemprot air, di mana impresi hujan bermunculan di tubuh mereka, bebajuan yang menjadi basah dan menjadi terasa lekat dengan kulit tubuh para aktor. Penonton merasakan kuyup kedinginan namun juga mereka dapat melihat dengan jelas hujan tipuan itu bersamaan, selalu ada usaha berada di antara, antara luruh dalam teks dan menjaganya untuk kritis.

Bagaimana mungkin akhirnya mereka bisa bertahan dengan mimpi, sedangkan cermin tipu daya tidak juga mereka temukan. Memburu pertanyaan lebih sulit daripada mencari jawaban. Keempat Abu dan Iyem adalah pemburu pertanyaan, sebab mereka telah tahu bahwa yang akan memberikan mereka kebahagiaan adalah cermin tipu daya, tetapi kenapa mereka harus terus mencarinya. Kenapa mereka harus rela menembus ujung dunia, adakah ujung dunia, tidakkah ujung dunia hanya apa yang tidak bisa terjangkau oleh nalar mereka sendiri? Kondisi di luar pertanyaan dan di luar jawaban ini adalah peristiwa khaos, ereksi akan hal-hal yang sudah tidak bisa dilogikakan oleh kelaparan dan penderitaan.

Khaos terjadi di dalam ruang dan di dalam tubuh. Keduanya bisa saling melilit, dan termuntahkan. Kemiskinan yang mengakar itu akhirnya menjadikan mereka yang tertekan terpaksa mengeluarkan tindakan di luar logika kemanusiaan. Ketika batas-batas solusi sudah tidak lagi mereka temukan, penonton seakan menunggu granat yang ditanam di tubuh mereka sejak awal, meledak dan mengoyak isi perut kemarahan para aktor.

Iyem akhirnya memakan anaknya sendiri, menggigiti dan melesakkannya ke langit-langit. Abu dan Iyem, mereka merangkak dan menggonggong bagai anjing kelaparan, menggigiti dan melempari anak yang mereka kandung sendiri. Bentuk anak-anak yang terlempar tersebut dibuat oleh Miftakul Efendi dengan jerami yang dipadatkan oleh kain putih (serupa kain kafan), berbentuk kecil memanjang. Panggung menjadi riuh oleh usaha gigit-menggigit, dan lempar-melempar anak-anak. Apa lagi yang tidak bisa dilakukan oleh mereka, pertanyaan di luar akal mana lagi yang harus mereka jawab?

Abu, Iyem lalu bingung apa lagi yang harus mereka makan, sebab anak mereka sudah selesai dimakan. Perut yang kosong harus diisi. Mereka melihat tubuh mereka masih utuh, sepasang tangan dan kaki yang masih segar. Abu, Iyem lalu memakan tangan, kaki dan bagian-bagian tubuh mereka. Perut yang kosong dijejali oleh daging dari tubuh mereka sendiri. Usaha memutilasi diri sendiri untuk dimakan oleh diri sendiri adalah pelampauan batas terjauh kemiskinan, mengoyak hingga batas terjauh apa yang bisa kemiskinan lakukan kepada perilaku manusia terhadap sesamanya, bahkan memakan dirinya sendiri pun menjadi sah selama dalam usaha mengisi perut yang kosong.

Keempat Abu dan Iyem ini letih, mereka teronggok di depan ruang kelas. Mereka bertemu dengan beberapa orang yang juga sedang kecapean bersitirahat. Masing-masing dari mereka yang membawa tiang lampu ini lalu saling bertanya satu sama lain, siapakah aku sebenarnya.  Mereka yang lelaki menjawab bahwa mereka adalah Abu, setiap lelaki yang menanyakan kepada sesama lelaki mereka menjawab bahwa mereka adalah Abu, mereka semua adalah Abu, sesama Abu saling menanyakan kepada Abu tentang apakah benar mereka adalah sesama Abu. Mereka yang perempuan menanyakan kepada sesama perempuan, siapakah aku, mereka menjawab bahwa mereka adalah Abu, semua lelaki dan perempuan adalah Abu dan Iyem, jawaban atas nama yang berada di luar pertanyaan. Ketika semuanya telah dipabrikasi, dan kemiskinan menjadi seragam, maka kita semua hanyalah sekadar nama, sekadar nomor, atau sekadar tanda-tanda di dinding pabrik.

Di sela-sela pertunjukan mereka mengambil jeda atau helaan nafas peristiwa. Seperti juga pada apa yang dilakukan Ibed Surgana Yuga bersama Andika Ananda ketika masih bersama dalam kelompok Seni Teku, terutama pada pertunjukan Kintir (Anak-anak Mengalir di Sungai yang saya saksikan beberapa tahun lalu di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Ibed Surgana Yuga selalu melepaskan sejenak plot yang terasa semakin menegang, dengan gairah baru yang menjauh dari endapan makna teks.  Ibed Surgana Yuga justru memperkaya konten teks dengan usaha pelapisan konteks kultur, pada kali ini Ibed Surgana Yuga menjembatani denyut hasrat tentang kultur masyarakat Jawa pesisir, tentang saweran, tentang ‘Jaran Goyang’ dan gairah malam yang tersimpan di balik lekuk tubuh penari Banyuwangi.

Dayu Prismawati sebagai Iyem 1 bermain menyamping, dia mengunjungi kultur pesisir yang tersimpan di dalam tubuhnya. Sebagai gadis kelahiran Tanah Osing dia melarutkan malam dengan lekuk dan putaran pantat yang bergelora, pada fase ini ruang ikut membengkak. Gairah malam yang disimpan di dalam alam bawah sadar para lelaki perlahan-lahan terpompa, terdesak hingga menyumbat aliran darah. Genderang hasrat yang ditabuh oleh para pengrawit mendesak kelelakian para lelaki tersudut lebih beku, dan Dayu sebagai Iyem, dan Dayu sebagai Dayu membuai malam dengan perubahan ruang yang disutradari oleh pinggul dan pantatnya. Pada sela-sela tari ‘Jaran Goyang’ yang dihembuskan oleh Dayu Prismawati, para Abu dan Iyem yang lain mengeluarkan plastik dari dalam celana rombeng mereka, lalu dengan lugu dan polos mereka meminta sawer seadanya dari para penonton, untuk memasukkannya ke dalam plastik yang mereka putarkan. Transaksi itu adalah harga kultural yang harus dibayar dari gelora tubuh yang menajam di ruang pembakaran hasrat.

Kaca tipu daya yang terus dicari tersebut lalu mulai menemukan ruang terangnya. Abu akhirnya bertemu lagi dengan Dalang (Untung Pribadi), dan akhirnya Dalang memberikan kepada Abu cermin tipu daya tersebut, namun ternyata cermin tipu daya itu adalah sandal jepit (swallow) yang hanya sebelah. Abu tidak peduli, dia tetap bangga. Di tengah kebahagiaan yang tengah membuncah tersebut, Dalang menembaknya bersamaan, Abu mati. Kematian Abu di ujung pencarian, di tengah-tengah kebahagiaan atas berhasilnya ditemukan cermin tipu daya yang dicarinya. Sebuah kematian radikal dari usaha beratus-ratus tahun manusia mencari kebahagiaannya, memendam penderitaan, memakan tubuhnya sendiri hingga akhirnya memegang cermin tipu daya dalam keadaan mati. Sebuah tujuan yang diraih dalam keadaan mati, merayakan kematian dengan kemenangan yang belum sempat dicecap.

Memunguti jejak yang tercerai berai
Apakah manusia bahagia ketika mencapai tujuan? Ataukah justru manusia menemui ereksi bahagia dalam proses mencari yang penuh derita?

Abu yang telah mati, terkapar dengan tujuan yang dipeluknya. Beberapa orang datang menghampirinya, mereka terheran siapakah yang terkapar di tengah jalan seperti itu. Di antara mereka ada yang membawa selendang kuning (selendang milik Bulan yang juga dipakai oleh Dayu Prismawati ketika menari tari ‘Jaran Goyang’), lantas dirinya menyelimuti Abu. Selendang kuning itu beberapa kali mengalami migrasi pemaknaan, sedari pertama digunakan sebagai simbol pembuaian (digunakan oleh Bulan), lalu digunakan sebagai perayaan atas komoditas hiburan rakyat (digunakan oleh Dayu Prismawati) dan kini digunakan sebagai kain untuk menyelimuti tubuh Abu yang telah mati. Abu terbuai dalam komoditas yang akhirnya membunuhnya.

Abu yang telah diselimuti oleh kafan ‘kuning’ tersebut diangkat di atas bahu mereka, bebunyian ‘inalillahi’ bersahutan sembari mengelilingkan jasad Abu. Putaran tersebut lebih sebagai pintu siklis, berperan mengantarkan kembali kepada rotasi plot. Abu lalu ditidurkan kembali di posisi semula ketika dia tertidur pertama kali, lengkap dengan selendang kuning yang pada mula diberikan oleh Bulan untuk melindungi tubuhnya dari dingin malam. Posisi ini menggulirkan kembali siklus peristiwa yang terjadi, di mana kita tidak pernah lari ke mana-mana, kita terus bergerak mencari sesuatu yang kita butuhkan, tetapi sebenarnya kita tidak bergerak ke mana-mana, kita bergerak di tempat yang sama.

Iyem memandang kematian Abu adalah juga Iyem yang sedang memandang abu tertidur dalam kematiannya. Dirinya berteriak panjang dan lirih, ‘Masya Allah, djiancuk’, melepaskan penat yang terendap. Iyem lalu datang dan menendang Abu, memberondong Abu dengan umpatan telak atas kemalasannya yang terus tertidur ketika siang menjelang. Umpatan tersebut dilapisi dengan kecurigaannya atas selendang kuning yang dikalungi oleh Abu, namun Abu sekali lagi (setelah kematiannya) berkata bahwa dia justru sengaja menyimpan selendang tersebut untuk dihadiahkannya kepada Iyem. Abu dan Iyem lalu kembali melakukan kebahagiaan kecil mereka, saling merajuk, mengabari keadaan mereka yang sepele, colek-mencolek dengan kekenesan dan kegenitan mereka yang polos.

Goda-menggoda mungkin satu-satunya hiburan bagi mereka yang tidak memiliki ruang untuk mengakses hiburan di luar tubuh mereka, mereka dan tubuh mereka adalah lokus dan taman hiburan sekaligus. Abu dan Iyem mengolah hal-hal kecil dan remeh temeh di diri mereka sendiri, mereka tidak menyadari bahwa tekanan struktur korporasi sedang memadatkan mereka menjadi sampah, mereka tidak perduli, mereka hidup dalam fantasi atas diri mereka sendiri.

Pada sesi diskusi yang dilakukan di dalam auditorium, Ibed Surgana Yuga menegaskan bahwa teks Kapai-kapai ini hanya dijadikan sebagai pijakan pertama pembacaan, untuk kemudian mereka tinggalkan. Pada pertunjukan Kapai-kapai (atawa Gayuh) Kalanari Theatre Movement, Kapai-kapai Arifin C Noer hanya menjadi jejak, lebih sebagai garis-garis ingatan. Sebagai teks Ibed Surgana Yuga bersama teman-teman Kalanari Theatre Movement memberi jarak pada teks Kapai-Kapai sehingga posisi antara teks drama dan pewujud drama bersifat dialogis, pada praktiknya maka ada ketidaksetujuan, ada kesetujuan, ada kesamaan, ataupun sanggahan atas teks.

Dialog ini lebih kompleks, karena melibatkan juga resapan dari mereka yang tidak begitu memegang mitos Arifin C Noer sebagai sosok, juga monumen teks dalam sejarah teater Indonesia. Resapan ini lahir dari Sanggar Bangun Budaya yang akhirnya mendapatkan Kapai-Kapai dari ujaran latihan yang terbelah-belah, ungkapan-ungkapan dalam teks diraih justru dari ketidaklengkapannya, bukan dari hasil pembacaan menyeluruh atas naskah. Tradisi ini justru tidak dimulai dari meminimalisir keseluruhan pemahaman, tetapi memulai dari serpihan-serpihan makna yang teringat begitu saja. Potongan-potongan itu lalu saling melapisi, tumpuk-menumpuk hingga akhirnya menjadi lilitan yang tersambung dalam ketercerai-beraiannya.

Proses keluar dari pagar monumental tokoh-tokoh teater ini banyak dipengaruhi oleh interaksi Kalanari Theatre Movement dengan Sanggar Bangun Budaya. Kelompok kesenian yang tumbuh di daerah lereng Gunung Merapi tersebut memulai teater justru tidak dari dalam makna interior ‘naskah’, tetapi menemukan keterkaitan yang ada di luar dengan cara banyak melepaskan jerat interior teks. Apa yang berada di luar teks justru yang semakin mendekatkan mereka terhadap apa yang ada di dalam teks, Ibed Surgana Yuga melakukan strategi proses pada pola keluar-masuk seperti itu, sehingga ketika pertunjukan selesai kita menemukan dua pertumbuhan.

Pada penyutradaraan interior Kapai-kapai (atawa Gayuh) kita hanya melihat jejak dramaturgi yang siklis, terasa tetap dipertahankan oleh Ibed Surgana Yuga, tetapi di luar itu keterpengaruhan kultur juga ikut tumbuh seiring semakin terlihatnya konstruksi pertunjukan. Berbeda dari misalnya usaha merogoh dan mengelupas yang dimulai dari dalam teks, biasanya proses tersebut semakin mempersempit desain, namun pada proses kelompok Kalanari Theatre Movement, pengayaannya semakin lama semakin menyamping, merembes ke manapun, dan tidak ada batas yang semakin dikecilkan. 

Rembesan yang berada di luar penyutradaraan dihadirkan dan menguap dari proses aktor pada tubuhnya, pada ruangnya, pada teksnya dan pada ketidaksadarannya juga. Pada Kalanari Theatre Movement justru kehati-hatian dihindari, moment tak terduga dan peristiwa yang tak terencana ditunggu dalam pertumbuhannya. Teks Kapai-kapai tidak terhindari mengalami rembesan yang bolong di sana-sini, tetapi di sisi lain Kalanari Theatre Movement menjahit lubang-lubang kehati-hatian yang menganga dalam menyikapi ketokohan Arifin C Noer.

Membunuh bapa (menyayati ketokohan) adalah tindakan paling mulia yang dilakukan sang anak pada proses rotasi kebudayaan, sebuah aforisme yang memproyeksikan kegagapan teater dalam mengakses begitu cepatnya perubahan kultural di sekitar dirinya, sementara kita masih saja menyusu dari para tokoh-tokoh terdahulu, maka bapa harus dilihat sebagai jalan untuk dilampui, bukan sebagai berhala pengawetan di dalam dinding museum.  

0 komentar