Perbincangan tentang Menulis di antara Bangunan Modern dan Candi Kuno

Candi sebenarnya juga merupakan pustaka yang berisi rekaman pengetahuan dan sistem nilai di masa lalu. Candi dengan segala kekayaan yang dikandungnya bisa dijadikan rujukan untuk belajar banyak hal.

Areal Candi Kimpulan, tempat Menggali Pustaka Candi | Foto: Gardika Gigih Pradipta

Pemandangan menarik hadir di depan mata saat memasuki kompleks perpustakaan Universitas Islam Indonesia (UII) di Jalan Kaliurang Km 14,5 Yogyakarta pada Selasa siang, 11 Januari 2014. Di tengah kompleks besar perpustakaan bergaya arsitektur modern ini terdapat sebuah candi, yakni Candi Kimpulan. Candi di tengah perpustakaan kampus menjadi keunikan sekaligus kemewahan tersendiri.

Candi ini sejatinya ditemukan secara tidak sengaja saat pembangunan kompleks perpustakaan dimulai pada tahun 2009. Saat mulai menggali fondasi, ditemukan obyek asing yang ternyata adalah sebuah candi. Penemuan ditindaklanjuti dengan proses ekskavasi dengan mendatangkan para arkeolog dan ahli geologi. Pembangunan pun ditunda sejenak.

Setelah ekskavasi selesai, sebuah respon menarik terjadi. Sedari awal, perpustakaan UII memang dirancang dengan gaya modern. Pembangunan tetap dilanjutkan dengan gaya arsitektur yang telah dirancang. Namun di bagian tengah kompleks perpustakaan, keberadaan Candi Kimpulan direspon dengan membuat dinding luar perpustakaan menjadi berbentuk lingkaran besar, melengkung. Jadilah keberadaan Candi Kimpulan dikitari bangunan perpustakaan modern, yang menghadirkan sensasi nilai yang menarik.

Di salah satu ruangan kompleks perpustakaan itulah diadakan sarasehan “Perpustakaan Sebagai Sumber Penciptaan Ilmu dan Kreativitas Seni”. Sarasehan ini menjadi rangkaian dalam acara ‘Menggali Pustaka Candi’ yang juga berisi pertunjukan dan seni instalasi. Acara ini merupakan kerjasama antara UII dengan Komunitas Padepokan Lemah Putih (Karanganyar) dan Kalanari Theatre Movement (Yogyakarta).

Sarasehan menghadirkan tiga pembicara, yakni Elizabeth D Inandiak seorang penulis yang dikenal melalui penulisan kembali Serat Centhini, kemudian Kris Budiman dosen UGM dan penulis buku, dan Jen Shyu seniman musik dan tari.

Sesuai dengan tema, ketiganya memperbincangkan perpustakaan sebagai sumber penciptaan ilmu dan kreativitas seni. Menarik mencermati interaksi antara pustaka dan dunia kreasi dari ketiga pembicara yang memiliki latar belakang berbeda ini.

Misalnya Jen Shyu dari perspektif seorang seniman yang kesehariaannya bergelut dengan penciptaan sebuah karya. Jen Shyu mempresentasikan beberapa rekaman video karya-karya pertunjukannya yang berangkat dari riset pustaka. Antara lain Song for Naldo dari buku Resistance: A childhood Fighting for East Timor tulisan Naldo Rei. Buku yang berisikan kisah-kisah pilu saat proses integrasi Timor Timur ke Indonesia menjadi inspirasi awal Jen Shyu untuk mencipta sebuah komposisi musik.

‘The Book as the Seed of The Creative Process’ (buku sebagai benih dari proses kreatif), begitulah sub judul tulisan Jen Shyu dalam materi presentasinya.

Perbincangan di dekat Candi Kimpulan siang itu menjadi semakin menarik saat sesi tanya jawab. Salah satu penanya menyampaikan rasa ketertarikannya terhadap relasi keberadaan Candi Kimpulan di tengah bangunan perpustakaan yang modern. Ia lalu bertanya tentang makna keunikan relasi ini dari perspektif para pembicara dihubungkan dengan kepustakaan.

Jen Shyu mempresentasikan proses kreatifnya dalam sarasehan Menggali Pustaka Candi | Foto: Gardika Gigih Pradipta

Kris Budiman menjawab dengan sangat tajam. Ia menyampaikan bahwa candi sebenarnya juga merupakan pustaka yang berisi rekaman pengetahuan dan sistem nilai di masa lalu. Candi dengan segala kekayaan yang dikandungnya bisa dijadikan rujukan untuk belajar banyak hal.

Namun masalahnya, menurut Kris Budiman, telah terjadi diskontinuitas masa kini dan masa lalu. Sistem nilai dan pengetahuan yang terekam di sebuah candi menjadi begitu berjarak dengan masyarakat kini dan terasa ada kesenjangan peradaban. Akibatnya, candi tak lebih dari sekadar menjadi monumen warisan belaka.

Peradabaan saat candi dibangun dan masih aktif, kini memang sudah mati. Namun menurut Kris sejatinya kita bisa membaca dan memahami candi kembali lebih dekat dengan menganggapnya sebagai pustaka hidup yang tak habis-habisnya digali dengan pisau ilmu pengetahuan dan kreativitas. Maka lanjut Kris, keberadaan candi di tengah kompleks perpustakaan UII yang modern menjadi jembatan menarik dari keberjarakan ini.

Pertanyaan selanjutnya juga semakin menarik. Sebuah pertanyaan sederhana yang masih terkait soal kepustakaan, yakni: mengapa kita harus menulis?

Giliran Elizabeth D Inandiak yang akrab disapa dengan bu Eli menjawab bahwa baginya menulis adalah sebuah tugas dari ‘kekasih yang tersembunyi’. Eli menggunakan metaphor ini dari subjudul buku Centhini-nya untuk melukiskan bahwa menulis adalah sebuah misi bagi kehidupan dan bagi orang lain. Eli melanjutkan dengan bercerita bahwa saat ini ia tengah menulis tentang gempa di Yogya setelah diminta oleh warga Dusun Kinahrejo, Merapi. Sebelumnya, pada tahun 1998 Eli menulis buku Merapi Omahku berkolaborasi dengan perupa Heri Dono.

Saat diminta warga Dusun Kinahrejo untuk menulis kembali, awalnya Eli merasa enggan. Ia masih larut dalam kesedihan pasca erupsi besar Merapi tahun 2010 dan mendapati bahwa semuanya telah hilang, termasuk pohon gajah yang ia banyak tulis dalam buku ‘Merapi Omahku’. “Untuk apa melanjutkan cerita yang telah habis?”, kata Eli.

Namun permintaan gigih warga dusun itu meluluhkan hati Eli. Dalam sebuah perenungan, Eli merasakan bahwa menulis adalah tugas mulia untuk memberi makna terhadap segala peristiwa, bahkan peristiwa pahit sekalipun. Jika sebuah peristiwa sedih tidak diberi makna, ia akan hilang bagaikan angin saja. Perenungan inilah yang melecut Eli untuk terus menulis dan menulis.

Gardika Gigih Pradipta

Sumber: 
tembi.net, 14 Feb 2014

0 komentar