Srawung Seni Teater Suara 2012 di Padepokan Lemahputih

Foto & desain: Ibed
Padepokan Lemahputih, Karanganyar
8–9 September 2012


Srawung Seni Teater Suara
Ketika bayi, tubuh kita adalah tubuh suara. Kita berkomunikasi dengan suara. Kita menunjukkan Ada kita lewat suara. Tangis pertama, ketika tubuh kita berpindah dari jagat rahim ke jagat luar, adalah suara pertama tentang Ada kita, bukti pertama eksistensi dalam peradaban. Namun bersamaan dengan itu, dunia luar menyergap tubuh, dengan lamat namun pasti kebudayaan memerangkap kita, perlahan mengubah tubuh suara menjadi tubuh narasi.

Sejarah kebudayaan kita pun demikian. Awalnya alam semata berbicara lewat gerak dan suara, dan di dalamnya manusia juga bergerak dan bersuara, menyelaraskan diri dengan alam. Lalu gerak dan suara alam dianggap sebagai pertanda sesuatu di luar gerak dan suara itu—baik sesuatu yang imanen maupun transenden. Lalu dimitoskan. Lalu mitos dinarasikan. Lalu muncul agama, dengan narasi-narasi agungnya. Lalu narasi-narasi budaya modern—bahkan televisi yang audiovisual itu pun sangat naratif sekarang. Narasi telah menghegemoni sekian lini. Bahkan siklus alamiah kita sebagai manusia sering dihambat oleh narasi kebudayaan. Contoh kecil, misalnya, narasi budaya kesopanan dan kesantunan melarang kita untuk kentut di depan umum. Suara kentut yang alamiah (dan sangat disarankan secara medis) itu menjadi haram ketika berhadapan dengan narasi tentang norma.

Srawung Seni Teater Suara merupakan sebuah pertemuan, srawung, sharing, antarseniman serta antara seniman dengan penonton dan alam, yang diwujudkan dalam pergelaran berbagai pertunjukan (dengan pendekatan) teater (dan diskusi) yang menggunakan suara sebagai unsur utama pertunjukan, dengan alam atau arsitektur tradisional Jawa (pendopo) sebagai “panggung agung” pertunjukan. Srawung ini mencoba menawarkan wacana “pemulangan” teater kepada peristiwa suara (dan gerak) yang mandiri, tanpa beban narasi. Peristiwa teater “dikembalikan” sebagai suatu arsitektur tubuh-suara (tubuh-suara manusia, tubuh-suara alam) yang bergerak oleh waktu, tanpa berpretensi menyampaikan cerita yang naratif. Kerja berteater “dipulangkan” kepada berdialognya manusia (aktor, sutradara dan pekerja artistik lainnya) dengan alam (yang di dalamnya juga terdapat manusia lainnya, dan Tuhan).

Srawung Seni Teater Suara diinisiasi oleh Suprapto Suryodarmo (Padepokan Lemahputih, Plesungan, Karanganyar), Zulkifly Pagessa (Masyarakat Batu, Palu), dan Ibed Surgana Yuga (Kalanari Theatre Movement, Yogyakarta).

PROGRAM
Sabtu, 8 September 2012
Workshop: Suprapto Suryodarmo
Pertunjukan: Masyarakat Batu (Palu), Agus Bima Prayitna (Klaten), Kentrung Rock N Roll (Solo), Bambang Besur (Singapore/Solo), diakhiri dengan diskusi

Minggu, 9 September 2012
Workshop: Bambang Besur
Pertunjukan: Estefania Pifano (Venezuela), Kalanari Theatre Movement (Yogyakarta), Montse & Anna (Spanyol), Suprapto Suryodarmo (Solo), diakhiri dengan diskusi


Post-post terkait:
Related posts:
Srawung Seni Teater Suara: Perayaan Arsitektur Tubuh-Suara

0 komentar