“Pooh-Pooh Somatic”: Rasa yang Pernah Ada

Saya tidak tahu harus menyebut tulisan ini dengan kategori apa. Jika ingin disebut dengan catatan proses mungkin masih terlalu dini karena pada umumnya sebuah catatan proses baru bisa “dinikmati” pembaca pascapertunjukan. Masalahnya, ketika tulisan ini dibuat, pertunjukan yang dicatat melalui “catatan proses” ini masih on the way, dan kepastian pementasannya masih meminjam kata “insyaallah”. Jika ingin disebut sebagai kata pengantar (baca: iklan) atas pertunjukan terkait prapentas, mungkin bisa juga dikatakan demikian, walau apa yang nantinya bakal tersaji belum tentu seperti yang direncanakan saat ini, mengingat selalu terbuka pelbagai macam kemungkinan bentuk pementasannya kelak. Bisa jadi sesuai dengan yang kami rencanakan sejak awal, atau bahkan sama sekali berbeda drastis dari yang dicita-citakan. Meskipun konon tidak ada proses yang mubazir, semua ada hikmahnya. 

Baiklah, mungkin tulisan ini lebih cocok disebut dengan testimoni catatan eksplorasi yang sudah saya alami hingga tulisan ini dibuat. Bagaimana saya mencoba (sok-sokan) mengontemplasi pencapaian eksplorasi yang kami lakukan selama ini untuk mewujudkan cita-cita sang sutradara dalam wujud sebuah pertunjukan teater yang kiranya bakal kami sajikan (insyaallah) menjelang akhir bulan Agustus kelak. Mengenai kepastian waktu dan tempat biarlah itu menjadi bahan penantian isu yang bakal kami rebakkan via media sosial kelak. 

Foto: dok. Kalanari

Saya yakin sebagian besar dari Anda sekalian pascamembaca dua paragraf di atas sempat bertanya-tanya. Setidaknya ada tiga variabel utama yang bisa diajukan: Siapa saya? Proses apa? Dan siapa sang sutradara? Selain itu apa maksud dari tajuk tulisan ini: Rasa yang Pernah Ada. Kok receh sekali. 

Saya adalah salah satu partisipan yang tengah menempuh proses latihan bersama Kalanari Theatre Movement (selanjutnya: Kalanari), Yogyakarta. Menukil dari definisi melalui website-nya, Kalanari adalah sebuah lembaga pergerakan budaya melalui serangkaian kerja teater yang didirikan di Yogyakarta atas inisiasi sutradara asal Bali yang telah belasan tahun tinggal di Yogyakarta: Ibed Surgana Yuga. 

Singkat kata, melangkahi beberapa penjelasan mengenai seluk-beluknya, pada tahun ini Kalanari akan mempresentasikan sebuah pertunjukan dengan tajuk (awal) Pooh-Pooh Somatic. Mengapa saya selipkan kata “awal”? Konon penjudulan pertunjukan ini bakal mengalami sedikit modifikasi yang hingga tulisan ini dibuat masih belum ditemukan kepastian penamaannya. 

Apa itu Pooh-Pooh Somatic?

Untuk mencapai pengertian judul yang sepintas tampak jenaka ini, saya akan sedikit bercerita tentang bagaimana sejarah proses ini terbentuk. Proses ini sebenarnya merupakan rangkaian pengembangan salah satu program dari Kalanari yang disebut dengan Tubuh Lamis. Tubuh Lamis adalah pergerakan eksplorasi artistik sederhana dan mendasar terhadap bahasa ucap teater (yang paling purba): suara dan gerak. Eksplorasinya adalah dengan berusaha meminimalisasi bahasa verbal keseharian (bentukan kebudayaan), lalu merangsang tubuh untuk bergerak dan bersuara menurut realitas tubuh itu sendiri. Proses ini sudah dimulai sejak tahun 2015 dan sempat melahirkan Yo-he-ho’s Sites yang dipresentasikan dalam Salihara International Performing Arts Festival (SIPFest), Komunitas Salihara, pada penghujung tahun 2016. 

Yo-he-ho dan Pooh-pooh sendiri merupakan salah dua dari beberapa teori asal mula bahasa yang diungkapkan oleh ahli bahasa asal Jerman, Max Müller. Jika Yo-he-ho adalah proses lahirnya bahasa dari pergerakan otot tubuh ketika melakukan sebuah aktivitas, khususnya aktivitas berat yang memaksa otot untuk berkontraksi sehingga memancing mulut untuk mengeluarkan suara tertentu, maka Pooh-pooh lahir dari dorongan emosi, misalnya perasaan jijik atau takut dan lain sebagainya. 

Nah, untuk menemukan “bahan-bahan emosi” yang nantinya bakal diolah lagi menjadi teks pertunjukan Pooh-Pooh Somatic ini, sang sutradara, meminta setiap aktornya untuk membagikan beberapa pengalaman akan peristiwa-peristiwa paling berkesan dalam hidup masing-masing. Sekurang-kurangnya ada tujuh peristiwa bagi masing-masing aktor yang wajib dibagikan dalam proses. Mengingat pengalaman, terlebih lagi peristiwa yang paling berkesan dalam hidup seseorang, adalah sesuatu yang sangat personal, sang sutradara tidak memaksa aktor-aktornya untuk menjelaskan secara gamblang detail peristiwanya. Setidaknya ada judul untuk masing-masing peristiwa yang nantinya ketika judul itu dibacakan, para aktor akan dengan mudah untuk menghadirkan kembali ingatan (dan diharapkan juga emosi) akan peristiwa itu yang bakal menjadi bahan bagi teks utama pertunjukan ini. 

Menghadirkan kembali ingatan akan peristiwa yang pernah terjadi tidaklah selalu menyenangkan. Terlebih lagi bagi peristiwa yang benar-benar memberikan pengaruh bagi diri kita, khususnya yang benar-benar mengguncang, semacam peristiwa traumatis. Tidak jarang beberapa peristiwa tajam itulah yang kemudian mendefinisikan apa dan siapa kita sekarang. Tidak semua orang berkenan untuk membuka kembali luka lama (jika itu adalah peristiwa yang menyakitkan). Bahkan pada peristiwa-peristiwa yang (dulunya) menyenangkan sekalipun, bisa jadi malah berbalik menjadi menyakitkan tatkala ada kenyataan lain yang mengubah pandangan atau perasaan kita pada orang atau hal yang terkait dengan peristiwa tersebut. 

Dibandingkan dengan proses-proses ketubuhan yang pernah saya alami sepanjang saya berteater, proses ini terasa yang paling berat karena yang saya hadapi bukan hanya masalah keterbatasan fisik tapi keterbatasan psikologis dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang pernah saya alami sebelumnya. Memang benar, pada beberapa proses olah tubuh, mental juga bakal diuji, seiring keterbatasan kemampuan fisik yang dimiliki. Tapi tantangan mental pada proses olah tubuh lebih banyak pada faktor eksternal yang kemudian menguji kemampuan tekad internal kita. Sedangkan pada proses ini, yang harus dinegoisasikan adalah “keikhlasan” diri saya dalam menghadapi memori akan peristiwa-peristiwa yang pernah saya alami, terlebih pada peristiwa-peristiwa yang senantiasa saya coba lupakan. Peristiwa yang pernah ada.

Dari pergulatan akan menghadirkan kembali “rasa-rasa yang pernah ada” inilah kemudian yang menggerakkan tubuh kami secara refleks untuk merespon ruang dan situasi yang ada di sekitar. Gerak-gerak yang muncul dari pergumulan batin akan peristiwa-peristiwa yang membekas di dalam diri inilah yang kemudian diharapkan menjadi kosa-gerak kami dalam mengisi teks yang nantinya bakal diberikan oleh sang sutradara. Jadi pada dasarnya seasing apa pun teks yang diberikan pada kami, yang kami jalani adalah tubuh dan pengalaman kami sendiri. Kami dipaksa untuk menciptakan (atau lebih tepatnya mengekstraksi) bahasa kami sendiri dalam bentuk bunyi dan ketubuhan yang nantinya akan digunakan sebagai media pengomunikasian teks tertentu. Kami bergumul dengan Pooh-pooh

Ibed paham benar akan konsekuensi proses semacam ini. Alih-alih berusaha “mencari perkara” dengan meminta kami memancing pengalaman-pengalaman itu, ia berusaha untuk mengajak kami untuk lebih mengenali diri lebih dalam, khususnya pada pemahaman akan respon naluriah kita pada peristiwa tertentu. Syukur-syukur jika nantinya kami—para aktor—bisa menjadikan proses ini sebagai media terapi atas penerimaan terhadap peristiwa-peristiwa yang pernah kami alami, khususnya yang traumatis. Diharapkan proses ini bisa dijadikan semacam self healing bagi para pelakunya. 

Seorang aktor yang baik adalah manusia yang juga baik. “Kebaikan” ini tidak hanya tentang seberapa baik seorang aktor kenal betul dengan dirinya sendiri tapi juga bagaimana dia bisa menghadirkan kebaikan bagi manusia yang lain. Bagaimana seorang aktor bisa menjadikan diri sebagai kebaikan bagi orang lain, baik sesama aktor, penonton, atau siapa saja. Inilah kenapa pencapaian akhir dari teater adalah katarsis, penyucian. Bagaimana mampu menghadirkan kembali kemanusiaan dan bersama-sama mencari “kesucian” diri. Alih-alih mengaku yang paling suci atau setidaknya lebih suci dari manusia lain. 

Jadi, “kebaikan” macam apa yang bisa dipetik dari bakal calon pertunjukan Pooh-Pooh Somatic ala Kalanari kelak? Saya akan menemani Anda sekalian untuk bersama-sama mempertanyakannya. Menanti kebaikan dari rasa yang pernah ada....

Yogyakarta, qabla subuh, 17 Juli 2017

M. Dinu Imansyah

0 komentar