Kalanari Theatre Movement: Sebuah Niatan Menjadi Organis (1)

Kalanari Theatre Movement. Bagaimana nama itu tercipta, dan atas dasar cita-cita apa, maaf, sampai sekarang saya belum mengetahuinya dan tidak bisa menjelaskan tentunya ketika ada orang bertanya.

[...] di Kalanari sendiri tidak pernah ada istilah “anggota”. Semua orang bebas datang dan pergi [...]. “Keanggotaan” adalah masalah komitmen dengan diri sendiri, yakni komitmen untuk berproses bersama Kalanari.

Saya lupa (dan tak mencatat) berapa orang yang hadir ketika itu. Dalam buku catatan saya hanya ada satu baris tulisan: Pertemuan “Kalanari TM”, Warung Putra, 8 Maret 2012. Ke warung di kawasan Namburan Kidul itu saya mengundang beberapa teman yang pernah berproses teater bersama saya untuk makan nasi jinggo. Di sana pula saya mengutarakan maksud menginisiasi sebuah lembaga – bukan kelompok teater – yang konsen pada gerakan budaya melalui kerja teater. Di sela pedasnya nasi jinggo, kelahiran Kalanari Theatre Movement disepakati – paling tidak, kesepakatan itu terjadi antara kegelisahan, pemikiran dan diri saya sendiri. 

Belum terlalu lama, memang – tapi terasa lumayan lama. Pada 2016 ini Kalanari baru menapak tahun keempat. Dibandingkan dengan beberapa kelompok teater di Jogja yang digerakkan oleh orang-orang sepantaran kami, Kalanari masihlah tunas ranum yang belajar tumbuh. Seumpama anak manusia, ia masih ditolak untuk mendaftar sekolah TK. Jika dihitung dengan jumlah produksi, sampai awal 2016 ini kami baru menelurkan empat judul pertunjukan ditambah setidaknya tiga event di luar pertunjukan – namun kami tak mau menandai gerakan kami dengan menghitung kuantitas produksi. Jangan ditanya masalah kekuatan organisasi dan infrastruktur di dalamnya. Walaupun mendapuk diri sebagai institusi, Kalanari hanya kerumunan orang yang tak punya domisili situs hidup dan peran yang jelas; hanya saja kami dibalut oleh sebuah (bayangan) bendera institusi. Semuanya hanya bergerak (bersama) berdasar provokasi-provokasi personal untuk melakukan sesuatu yang dirancang sedemikian rupa sebagai hal yang (seolah-olah) penting bagi semua individu dalam kerumunan ini. Dan kerumunan ini selalu kembang-kempis. Kadang ada yang merasa lelah berada di kepikukan kerumunan, lalu pamit permisi atau malah mlipir. Kadang pula ada yang kangen pikuk-bising kerumunan dan masuk lagi tanpa rasa bersalah – karena memang tak ada yang salah dan menyalahkan. Kami menyadari – dan selalu mesti disadarkan – bahwa Kalanari memang dirancang demikian: semacam ruang singgah. 


Foto: Dok. Kalanari | Desain: Ibed

Banyak yang mengindentikkan Kalanari dengan Seni Teku, dan menganggap Teku berganti nama menjadi Kalanari. Ini bisa dipahami karena memang sebagian orang yang berkerumun di Kalanari adalah yang dulu pernah mengawaki Teku. Di samping itu, kami menyadari bahwa karya-karya Kalanari masih bisa dibaca dengan jelas jejaknya di karya-karya terakhir Teku. Kami tak bisa – dan tak ingin – memungkirinya. Bagaimana mungkin mungkir, lha wong saya sutradara keduanya, dan dalam keduanya saya menggelontorkan ide dan kegelisahan kreatif personal saya sebagai seniman je! Ini bukan kesombongan, namun secara jujur mesti diakui bahwa dapur kreatif saya pribadi masihlah dapur dengan tungku yang sama di keduanya – hanya saja bahan bakarnya sedikit bertambah. Namun yang jelas secara institusional Kalanari bukanlah Teku. Komunitas Seni Teku yang saya dirikan bersama Pranorca Reindra pada 2005 itu sudah bubar; produksi terakhirnya Mencari Bapa karya Rendra pada 16 September 2011, dengan pertemuan terakhir resmi komunitas pada 26 Januari 2012 dalam catatan saya. 

Ya, dapur kreatif saya sama saja antara di Teku dan Kalanari. Ide dan konsep kreatif yang saya bawa ke Kalanari masih merupakan kelanjutan dari yang saya tumpahkan di Teku. Namun sikap dan cara saya memaknai institusi sudah berbeda. Dengan kata lain, ideologi Teku dan Kalanari berbeda. Kalanari saya inisiasi di tengah kebutuhan saya pribadi sebagai sutradara akan keberadaan institusi yang memayungi kerja kreatif saya; dan di tengah gejolak pribadi saya sebagai seniman yang mempertanyakan dengan dalam dan sedih, “Buat apa lagi pentas teater di masa sekarang?” Dalam, karena pada peta peradaban kontemporer pentas teater seakan tak menemukan ruangnya sebagai produsen simbol. Sedih, sebab saya sudah terlanjur nyemplung dalam teater dan sepertinya tak punya “ruang pelarian” lain lagi untuk mengungsikan ide-ide yang rada subversif dalam kepala saya – alias bingung arep dadi apa

Di tengah mega-pentas-teater yang disajikan pelbagai media kekinian, siapa lagi yang butuh pentas teater selain segelintir manusia publik-eksklusif-sentimental dan manusia seniman-onanik? Seperti yang barangkali juga dialami oleh seniman teater lain, saya mempertanyakan kembali teater itu sendiri. Di mana letak teater dalam peta budaya kiwari? Apa peran yang harus direbut kembali, jika pernah hilang; atau yang mesti diciptakan, kalau yang lama tak mungkin direngkuh lagi? Di bilik mana latihan mesti ditempatkan dan di kamar mana pentas harus diletakkan? Apa gunanya bagi manusia-penonton dan manusia-seniman? Di bagian mana teater mengambil peran dalam keseharian kita? Dan berjibun pertanyaan lain. 

Di ujung semua pertanyaan, di tengah kebuntuan mencari “ruang pelarian” lain, saya mendambakan teater bukan semata ruang kerja penciptaan pertunjukan, namun lebih sebagai suatu lahan untuk melakukan gerakan budaya yang mengedepankan nilai kemanusiaan. Rada ngawu-awu, memang. Lalu saya mendapat inspirasi yang barangkali tidak cemerlang dan sama sekali tidak baru: mungkin baik jika teater disikapi sebagai sebuah pergerakan! Melakoni teater dengan sikap dan semangat melakukan gerakan pemahaman dan pengembangan kebudayaan, dimulai dari memaknai kebudayaan sebagai laku keseharian manusia. Dalam lingkup yang lebih luas, gerakan ini bisa digunakan untuk meneguhkan kembali ikatan teater dengan masyarakat, ruang yang secara organis melahirkan teater (budaya pertunjukan), katakanlah pada masa lampau. 

Nama Kalanari Theatre Movement – yang sering salah dilafalkan orang, dan bahkan dianggap aneh oleh beberapa orang dalam Kalanari sendiri – muncul dari saya sendiri, seorang (kelahiran) Bali yang cukup lama tinggal di Jawa, yang kesengsem dengan konsep “kala”: waktu dan kualitas raksasa (demonik?) yang menyatu. Konsep ini saya kira sedikit-banyak merepresentasikan ruang (lebih luasnya: kosmos) yang kita tinggali, yang – seluas dan sesempit apa pun ruang itu dimaknai – selalu bergerak dalam maharahasia dan punya potensi celaka yang dengan sekejap bisa memurukkan kita. Bukankah kita menciptakan kebudayaan untuk menghindarkan diri dari celaka dan keterpurukan? Peradaban saya kira bisa dioposisikan dengan “kecelakaan”. Kalanari dalam hal ini saya maknai sebagai suatu lahan menanam teater yang bukan sekadar untuk dipanen di kemudian hari, namun lebih pada proses memelihara, memahami, mensyukuri, sebagai aksi untuk turut serta menjaga keberlangsungan hidup ekosistem kebudayaan. Bisa dikatakan sebentuk “situs” untuk melakoni ritual-ritual (budaya) untuk menghindari kemelencengan dari rantai ekosistem (budaya) yang bisa berakibat puruk dan celaka. 

Gerakan Budaya: Sebuah Cita-cita 
Jika teater kemudian menjauhkan dari kehidupan, bahasa dan budaya kita, lalu kenapa kita (harus) berteater?

Kalanari bukan seperti kelompok teater kebanyakan. Kesederhanaan, orang-orang yang ndesit, cenderung katrok, adalah perilaku yang selalu dibawa pada setiap pentas [...] tanpa melupakan Tolak Angin, Antimo, koyo, minyak kayu putih serta nasi bungkus dengan lauk sambal dan krupuk.

Frasa “theatre movement” saya pilih untuk mengembel-embeli institusi ini – dengan bahasa Inggris, biar sedikit nggaya. Ya, Kalanari adalah sebuah institusi pergerakan teater, bukan kelompok, komunitas atau company. Dan inilah sebenarnya ideologi (institusi) yang dicita-citakan Kalanari: laku teater sebagai gerakan budaya. 

Mengapa bukan sekadar kelompok, komunitas atau bahkan company? Kami menghindari penyebutan kelompok karena ada kecenderungan kelompok atau grup teater bergerak dalam program utama – atau muara dari segala proses berteater, juga proses berkelompok, adalah – penciptaan pertunjukan; sedangkan bagi Kalanari, pertunjukan diposisikan sebagai ruang singgah semata dari proses panjang berteater. Walaupun realitas orang-orang di Kalanari memperlihatkan dinamika berkelompok (tepatnya: berkerumun), namun laku proses berteater kami sikapi sebagai pergerakan (budaya) teater yang dinaungi oleh payung institusi. Dengan agak janggal, kami bisa disebut sebagai “kerumunan yang terikat”: sekumpulan orang yang diikat oleh sebuah sikap melakukan gerakan budaya; dan disebut kerumunan karena tak ada ikatan keanggotaan yang ketat. Semuanya bisa datang dan pergi seenak udhel – dengan atau tanpa ada yang merasa disakiti. 

Komunitas? Ah, saya dan beberapa orang Kalanari yang pernah menjejakkan diri di Seni Teku sudah mengalami kegagalan mempertahankan komunitas. Kami jadi tahu dan sadar, betapa sulitnya membangkitkan rasa komunal dalam sekumpulan orang yang justru secara terang-terangan memiliki niatan berteater. Menjadi komunal tak bisa dicapai hanya dengan mengandalkan visi dan misi yang sama untuk mencemplungkan diri dalam kubangan bernama teater. Berteater tak bisa dilepaskan dari kepentingan personal dan politik eksistensi, sehingga kekomunalan dalam komunitas bisa jadi semu dan rentan berbalik mewujud serangan telak bagi komunitas itu sendiri. Justru, kesadaran inilah yang kami bangun di Kalanari: kepentingan personal – dan bahkan politik eksistensi. Kalanari mewadahi orang-orang yang punya kepentingan personal di teater, dan mereka boleh pergi jauh dari Kalanari setelah kepentingan itu diraih atau sama sekali gagal dicapai. Karena itulah, hampir di setiap pertemuan dan latihan saya selalu menekankan bahwa Kalanari lebih mementingkan pembangunan karakter personal orang-orang di dalamnya dibanding membesarkan atau mengukuhkan eksistensi institusi. Institusi boleh runtuh berkeping-keping, tapi jangan orang-orangnya. 

Kami juga tidak (belum?) ingin mengisbatkan Kalanari sebagai company. Kalau yang ini tentu karena alasan sederhana dan klise. Di samping karena pertunjukan bukan program (dan produk) utama, kami juga menyadari pertunjukan-pertunjukan ndesit Kalanari tidak layak jual, kecuali untuk beberapa pendonor dan festival yang (jika harus jujur diakui) belum mampu membayar jerih-payah kami. Tidak ada yang mau membeli pertunjukan kami dengan harga yang bisa memberi keuntungan komersial untuk semua orang yang terlibat di dalamnya – di samping juga karena kami belum siap menjualnya. Dan untuk hal ini, Kalanari tak sendiri di Indonesia, bahkan dunia. 

Pertanyaannya kemudian, apakah institusi pergerakan budaya adalah bentuk yang pas, yang bisa menghindarkan dari kerapuhan soliditas dan ancaman ke-bubrah-an? Jawabannya, tentu saja tidak. Negara saja bisa bubar, apalagi secuil institusi teater yang dengan sombong memproklamasikan diri sebagai institusi gerakan budaya, sedangkan realitas di dalam hanya menunjukkan kerumunan orang dengan berbagai keinginan dan kepentingan. Tapi memang bukan terhindar dari kerapuhan itu tujuannya. Kalanari justru berangkat dari kesadaran dan pengakuan secara jujur akan (politik) kepentingan berbeda orang-orang di dalamnya. Karena dengan kepentingan-kepentingan itu kita bisa merumuskan gerakan macam apa yang mesti dilakukan untuk menciptakan dan melakoni kebudayaan yang kontekstual dengan keberadaan (baca: kepentingan) kita sekarang. 

Sebagai gerakan, kami memulainya dengan satu kata kunci yang rada “labil”: organis. Kebudayaan yang kontekstual adalah kebudayaan yang organis. Kebudayaan sebagai suatu produk yang lahir dari dan dilakoni oleh organisme (manusia, lebih luas masyarakat) itu sendiri, yang barangkali bisa dianalogikan dengan proses biologis. Proses mencipta dan melakoni kebudayaan yang organis akan dengan sendirinya memenuhi kebutuhan, kepentingan dan cita-cita pelakunya. Dan jika kita hubungkan dengan orisinalitas, yang organis dengan sendirinya orisinal. Namun – sebagaimana di awal saya sebut “labil” – yang organis belum tentu (dan nyatanya tak mungkin) lepas dari pengaruh atau anasir di luar organisme itu. Kesadaran ini yang justru harus ditanamkan, bahwa organisme hidup dalam suatu ekosistem yang terdiri dari jejaring pengikat yang merupakan saluran untuk saling menyuapi. Menciptakan kebudayaan yang kontekstual adalah juga kerja menggali pengaruh: mencari asupan lewat tangan kiri seraya menyuapi dengan tangan kanan. 

Kami kemudian belajar dari berbagai laku dan bentuk ekspresi dari masyarakat yang masih komunal. Kami mendekat dan mencari tahu bagaimana mereka menciptakan dan melakoni tradisi, dan yang paling penting adalah bagaimana mereka melahirkan ekspresi khas yang berinduk dari keseharian. Saya kira keseharian adalah titik pangkal dari ekspresi budaya yang organis. Dan keseharian mesti dipahami dengan tidak sederhana, sebab ia terdiri dari kerumitan pelbagai kepentingan dan kebutuhan yang centang-perenang, namun berkelindan dengan pasti membentuk karakter kehidupan sosiokultural yang khas. Dalam keseharian kita menemukan kebutuhan akan makan, uang, kuasa, agama, seks, dan lainnya, yang semuanya bisa menjadi endapan sadar atau bawah sadar, dan menjelma core dari ekspresi budaya (pertunjukan). Di sisi lain ekspresi juga adalah kebutuhan. Dengan demikian, ekspresi budaya yang organis adalah sesuatu yang jujur. Ia lahir dari endapan berbagai kebutuhan dan kepentingan keseharian tanpa harus dipolitisasi. Di ranah perancangan bentuk dan ranah penggelaran, ruang untuk (dan menjelang) bertatap muka dengan publik, barulah politik artistik bermain. Di sinilah pengindah-indahan itu terjadi, yang bisa jadi merupakan bentuk dari kebutuhan atau kepentingan akan kuasa. 

Dari pemahaman itu kemudian kami belajar tentang kejujuran tubuh, kejujuran ekspresi dalam proses berteater. Ini membongkar dan mempertanyakan lagi sikap dan laku tubuh dalam teater dan keseharian. Kami bertanya dan mencoba merumuskan lagi posisi diri dalam kehidupan budaya, sosial, geografis, pendidikan, dan juga gaya hidup. Kami membangun kesadaran here and now kami, termasuk mengingat dan memahami lagi dari mana kami berasal, ekosistem kebudayaan macam apa yang menghidupi kami sebelumnya, siapa ibu kami. Dan kebetulan kami rata-rata adalah orang-orang ndesit yang kini masuk ke area semi-urban, dan melakoni seni teater yang diadopsi dari dunia yang tidak ndesit. Di sinilah kami mesti jujur dengan sejarah yang membentuk tubuh kami. 

Dalam program Kalanari yang dinamai Tubuh Lamis, kami menggali lagi seberapa lamis-kah tubuh kami selama ini dalam berekspresi, dan dengan perlahan kami mencoba mereduksi ke-lamis-an itu untuk menuju tubuh yang jujur. Di sinilah kepentingan-kepentingan yang berbeda dari orang-orang di Kalanari mesti dirumuskan, dimunculkan ke permukaan dengan jujur. Tubuh yang jujur adalah tubuh yang sadar akan berbagai kepentingan dan kebutuhan tubuh. Ini sangat penting untuk pengondisian tubuh sebelum menuju ranah penggelaran yang sebenarnya hanya ranah politik artistik. Ya, pertunjukan cenderung adalah politik-siasat-intrik artistik yang berakar pada naluri manusia untuk berkuasa. 

Dengan demikian, apa yang kami maksud dengan gerakan budaya sebenarnya lebih bersifat ke dalam, ke tubuh (diri) personal-personal yang ada di Kalanari. Gerakan ini mencoba membangun sikap dan pemikiran individu dalam laku ekspresi. Memang, harus kami akui bahwa mewujudkan Kalanari sebagai sebuah institusi gerakan budaya masih jauh panggang dari api. Ini cita-cita yang belum (sepenuhnya) tercapai. Oleh khalayak yang mengetahuinya, Kalanari masih dikenal sebagai sekadar kelompok teater. Anggapan ini tak bisa ditampik sebab publikasi kami di permukaan yang langsung bertatap muka dengan khalayak ramai masih pada produksi pertunjukan. Gerakan-gerakan di luar pertunjukan lebih bersifat ke dalam atau hanya dihadiri oleh publik yang terbatas. 

Jeblog, Pancaseming, Kuang, Maret – Mei 2016 

Ibed Surgana Yuga

Catatan: 

Tulisan ini dibuat untuk sebuah buku yang ditulis bersama para penulis dari kelompok-kelompok teater di Jogja, dalam rangka merumuskan ideologi teater masing-masing. Sampai tulisan ini diterbitkan di laman ini, buku dimaksud belum juga terbit karena beberapa kendala. Semua kutipan dalam tulisan ini dinukil dari catatan-catatan refleksi untuk ulang tahun Kalanari Theatre Movement yang keempat, 8 Maret 2016. Menjelang ulang tahun itu saya meminta semua teman yang pernah dan masih singgah di Kalanari untuk menulis catatan singkat tentang persentuhan mereka dengan Kalanari. Catatan-catatan itu – selain sebagai ungkapan untuk mengingat tanggal lahir Kalanari – adalah bacaan penting bagi saya yang selalu ingin tahu tanggapan atas kerja kolaborasi yang mereka jalani bersama saya. Silakan klik nama penulis pada setiap kutipan untuk membaca tulisan lengkapnya. 

0 komentar