Kalanari: Belajar Tentang Hidup

Refleksi Vivin L. Prinka untuk Empat Tahun Kalanari

Kalau diperbolehkan untuk berterima kasih, saya akan mengatakan kata itu setiap hari dalam hidup saya. Bagaimana tidak? Tuhan telah memberikan jalan bagi saya yang selama ini susah berkosentrasi dan membedakan antara dunia nyata dan dunia pikiran saya sendiri. Jujur bahwa saya merupakan salah satu orang dengan pikiran yang berisik. Maksud saya, di dalam kepala saya seakan-akan selalu ada orang berkomentar tentang segala hal yang mata saya lihat. Memang mengganggu, akan tetapi terkadang itu juga cukup membantu jika saya dihadapkan dengan sebuah kejadian yang membutuhkan proses analisa cukup panjang. Seakan-akan pikiran saya sudah mulai mencicilnya dari hari-hari sebelum kejadian tersebut.

Vivin L. Prinka dalam Kapai-kapai (atawa Gayuh), Universitas Muria Kudus, 15 Mei 2015 | Foto: Doni Marta

Nah, itu sekilas tentang keadaan saya sebelum bergagung dengan Kalanari Theatre Movement. Saya bersyukur sekali karena Tuhan memberikan jalan bagi saya untuk bergabung dan bahkan mendapatkan kepercayaan dari keluarga Kalanari untuk pentas bersama. Lebih bersyukur lagi karena ketika proses latihan, begitu banyak hal yang dapat saya ambil dan saya pelajari dari proses latihannya. Hari pertama saya mengikuti latihan, saya berpikir bahwa ini berbeda. Ini memang berbeda dari proses teater yang sebelumnya pernah saya ikuti. Maksud saya bukan mau menjatuhkan proses teater yang lain, akan tetapi dalam proses latihan Kalanari benar-benar berbeda. Akan saya uraikan saja menjadi beberapa bagian seperti berikut ini.

1. Sadari Napas, Sadari Diri Sendiri
Proses latihan ini awalnya kurang begitu bisa saya pahami karena hanya mendapatkan instruksi agar kami berdiri, memandang satu titik fokus, lalu jangan biarkan pikiran melayang ke mana-mana dan tetap mengamati proses keluar-masuknya napas melalui hidung. Awalnya saya benar-benar masih susah untuk bisa fokus karena yang ada dalam pikiran saya hanyalah perasaan bingung dan kalimat semacam, “habis ini nanti apa lagi ya?”, “memangnya kenapa sih kalau napas diamati?” atau, “aduh susah fokus, pikiranku malah melayang-layang ke mana-mana ini”. Namun pada akhirnya saya mendapatkan semacam goal dari proses ini, yaitu tentang memaksa diri untuk tetap fokus terhadap apa yang sedang dihadapi saat ini di tempat ini. Saya dapat menemukan cara saya sendiri sesuai dengan keadaan tubuh saya untuk mendapatkan konsentrasi dan fokus tersebut dari proses ini. Dari proses ini juga saya menjadi lebih mengenal diri saya karena saya mulai menyadari sebenarnya seperti apa saya bernapas, saya bergerak, saya berperilaku, semua mulai saya teliti dari proses ini.

2. Ada Sebab, Ada Akibat

Tahap selanjutnya adalah ketika kami mendapatkan instrukti untuk berpose dengan bentuk yang bebas namun tidak usah dipikirkan bentuknya, dan tidak usah ingin diindah-indahkan. Selain itu juga menyadari udara yang bergerak di sekitar tubuh kita, suara-suara di sekitar kita. Kemudian kami juga diinstruksikan untuk bersuara tanpa diindah-indahkan juga. Hanya bersuara, tidak perlu dipikirkan merdu atau tidak, aneh atau normal, fals atau sumbang. Tahap berikutnya adalah memproyeksikan suara kepada salah satu titik pandang yang jaraknya jauh dan kami pilih sendiri. Perlahan-lahan dengan adanya proses ini, saya mulai mengamati kehidupan dan perilaku orang-orang di sekitar saya. Terlebih tentang cara mereka berkomunikasi. Dari proses inilah saya mendapatkan pelajaran bahwa dalam komunikasi (entah itu di panggung, dengan penonton atau dengan lawan main, atau pun di kehidupan nyata) diperlukan titik proyeksi yang hendak dituju. Hal tersebut akan membuat sesuatu yang akan disampaikan/disuarakan oleh orang yang berbicara itu menjadi lebih meyakinkan dan maksud serta tujuan dari komunikasi tersebut lebih mudah dipahami oleh target yang diajak untuk berkomunikasi.

Itu pernah saya buktikan ketika saya mempunyai pengalaman mengajar anak-anak SMP yang lumayan bandel (kejadian ini setelah saya bergabung dan mendapatkan latihan dari Kalanari). Ketika saya hanya bersuara saja, murid-murid saya hanya sekadar mendengar suara saya dan mengabaikan instruksi yang saya berikan kepada mereka. Tapi ketika saya berkonsentrasi dan saya berusaha menargetkan titik proyeksi saya adalah seluruh anak di ruangan tersebut, lalu saya bersuara dan tentunya kali itu dengan energi yang rasanya lebih besar dari yang sebelumnya. Betapa terkejutnya saya, karena tiba-tiba seluruh murid di ruangan itu menghentikan aktivitasnya dan suasana menjadi hening karena mereka memandang ke arah saya untuk mendengarkan kalimat apa lagi yang hendak saya ucapkan untuk mereka. Wow! Saya bukan bermaksud melebih-lebihkan, tapi memang inilah salah satu contoh pembuktian saya dalam mengaplikasikan ilmu yang saya dapat dari berlatih dengan Kalanari.

Ada Sebab, ada akibat. Masih ada lagi ketika sedang latihan, kami mendapatkan instruksi dari Mas Ibed untuk bergerak bebas, namun tetap menyadari ruang. Di mana kami sedang berpijak, seperti apa hawa saat itu, bagaimana cuaca di langit, suara apa saja yang terdengar saat itu, apa saja yang berada di sekeliling kami, dan dengan tetap menyadari napas. Selain itu, kami juga dibebaskan untuk bergerak sesuai keinginan tanpa mengindah-indahkan. Kalau sudah ingin bergerak baru bergerak, kalau belum, lebih baik diam. Dari proses ini saya mendapatkan pelajaran bagaimana mengoneksikan hati dan tubuh saya untuk bekerja sama dan saling bertoleransi. Jujur pada diri sendiri dan tentu saja ini juga merupakan salah satu proses pengenalan terhadap diri sendiri. Di sini kami mulai mendapatkan pelajaran untuk menganalisa kecenderungan gerakan tubuh kami, apa sebabnya, kenapa bisa begitu, dan coba kalau di lain hari kami buat berbeda, itulah semacam percobaan yang kami pelajari dalam proses ini. Saya merasa mulai dapat menakar tentang keadaan tubuh saya yang dulunya sering tiba-tiba lemas. Dari sinilah saya belajar menganalisa, lemas yang sering saya alami itu apakah benar-benar tubuh saya tidak kuat lagi atau itu hanya efek dari pikiran saya? Kalau benar itu berasal dari pikiran saya, berarti saya bisa mengubahnya dengan cara saya juga harus mengubah pola pikir saya sendiri agar saya tidak sering lemas lagi. Bukankah pelajaran seperti ini sangat berharga? Yang lebih menyenangkan lagi, karena di Kalanari proses seperti ini benar-benar dibebaskan. Kami dipancing untuk menemukan cara masing-masing tentang sebuah pemecahan masalah yang sering muncul dari kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari sanalah kami terbiasa untuk menemukan “cara” dalam mencapai sebuah tujuan.

3. Improvisasi, Menjadi Responsif dan Berkembang
Proses ini adalah proses di mana kami mendapatkan instruksi untuk bergerak masing-masing, kemudian mengeluarkan suara dengan tetap menyadari ruang dan sadari diri, lalu dilanjutkan dengan saling berinteraksi satu sama lain. Awalnya hanya dua orang, kemudian berlanjut tiga atau lebih. Tapi pada mulanya ketika proses saling berinteraksi, hanya sentuhan salah satu bagian tubuh orang A dengan salah satu bagian tubuh dari orang B, apa pun itu termasuk dengkul, pantat, jari kaki, punggung, telinga, asal saling sentuh dan kami dapat berinteraksi dari sana. Nah, proses itu juga mengajarkan saya bagaimana memahami seseorang bisa didapatkan dengan cara sentuhan yang kita dapatkan dari orang tersebut, yaitu caranya menyentuh, dengan apa dia menyentuh, perasaan sedang sedih atau gelisah ataukah sedang biasa sajakah orang yang sedang bersentuhan dengan kita. Seperti ada macam-macam getaran yang berbeda.

Kedua, ketika Mas Ibed memberikan instruksi lagi untuk bersuara saat bergerak, namun tetap saling berinteraksi. Pihak aktif bergerak sambil bersuara dan bergerak mengalir dengan diikuti oleh pihak pasif. Di sela-sela interaksi inilah antara pihak aktif dan pasif harus saling memahami kapan saatnya untuk bertukar posisi menjadi aktif atau menjadi pasif. Saling memahami, dan membaca situasi, ini juga salah satu pelajaran hidup yang dapat kami petik dari proses latihan Kalanari yang beda dari lainnya. Juga tentang bagaimana kita harus merespon keadaan atau orang lain yang sedang mencoba mengomunikasikan dirinya dengan diri kita.

Ketiga, kami mendapatkan pelajaran yang menurut saya hal tersebut adalah mengembangkan sesuatu hal yang kecil. Tahap ini yaitu ketika sama dengan tahap selanjutnya, hanya saja saat itu suara diubah menjadi kata-kata dari bahasa verbal (saat itu kami sepakat bahasa Jawa yang kami gunakan karena beberapa alasan tertentu, di antaranya karena mayoritas dari kami kebetulan adalah orang Jawa, dan itu kami anggap mempermudah proses latihan kami). Pihak aktif misalnya mengeluarkan kalimat dengan kata “panci” karena saat itu pancilah yang terlintas di pikirannya, namun ia dibebaskan untuk mengatakan hal apa pun itu tentang panci. Misalnya, “Panci gosong mergo bar kobongan wingi sore.” Kata-kata itu terucap begitu saja dan kami diharuskan untuk tidak perlu berpikir untuk mengeluarkan kalimat yang ada di otak kami. Ini juga menjadi poin penting bagi saya, di mana proses ini mengajarkan saya bahwa ngomyang atau asal ngedumel saja dengan mengeluarkan kata-kata yang menumpuk di otak kita, merupakan salah satu refleksi stres dan membuat hidup lebih tenang karena pada saat itu kita serasa tidak lagi sendirian menanggung semua persoalan tentang kata-kata tersebut. Nah, sedangkan ketika pihak pasif bergantian menjadi pihak yang aktif, maka pihak pasif pun dibebaskan untuk menjawab apa saja yang ada di kepala mereka setelah merespon dari kata-kata si pihak aktif.

Saya belajar sebab-akibat juga dalam proses yang ini. Juga tentang nada, susunan kata, ataupun cara berkata dari sebuah ujaran yang dapat merangsang cara berpikir orang ketika mendengarnya. Ketika saya menjadi pihak pasif, terkadang saya benar-benar sudah menyiapkan jawaban saya ketika saya akan menjadi pihak aktif selanjutnya karena otak saya sudah merasakan rangsangan dari kata-kata awal yang dimunculkan dari pihak aktif yang sedang berbicara. Akan tetapi terkadang semua itu saya cerna terlebih dahulu untuk mencoba ketika pihak aktif sudah selesai dengan semua perkataannya, maka apakah yang akan saya katakan setelah kejadian tersebut. Apakah saya akan dengan mudah mengembangkan percakapan itu, atau hanya sekadar menanggapi seperlunya saja.

Saya merasa bahwa setelah latihan tahap ini yang dilakukan berulang-ulang, kami dapat lebih mudah berkembang di dalam kehidupan kami. Maksud saya adalah di dalam masyarakat atau pun lingkungan kampus bagi beberapa dari kami, kami menjadi lebih mudah untuk berinteraksi sosial, dan saya pribadi menjadi lebih siap jika akan menghadapi sesuatu. Karena latihan ini juga melatih kami untuk selalu siap dan hadapi saja dulu persoalan yang akan menghadangmu, jangan terlalu sibuk untuk memikirkannya, padahal kita belum mencoba untuk berhadapan dengan masalah tersebut. Hal ini sinkron dengan proses latihan yang saling menjawab antara pihak aktif dan pasif, apa yang mau dikatakan, apa yang hendak dijawab, kami dilatih untuk melakukannya saja dulu tanpa membebani pikiran kami. Dan hasilnya ternyata latihan ini membuat kami lebih fresh dan rasanya mental kami menjadi lebih sehat.

Itulah beberapa poin yang dapat saya sampaikan selama saya mengikuti proses latihan bersama Kalanari. Sungguh saya bersyukur dengan adanya latihan seperti itu, karena saya merasakan banyak manfaatnya di dalam hidup saya. Sampai sekarang pun terkadang ketika saya masih merasakan stres yang membuat saya sangat sakit, saya mengingat kembali pelajaran-pelajaran hidup yang pernah saya dapatkan dari proses latihan Kalanari untuk mencari solusi dengan masalah-masalah di kehidupan saya. Bersama Kalanari, belajar teater sekaligus belajar hidup. Terima kasih sekali Kalanari. Selamat ulang tahun, semoga Kalanari akan terus berlanjut dan semakin jaya. He-he-he....

0 komentar