Naskah Lakon sebagai “Sekadar” Media Eksplorasi Artistik dan Gerakan Budaya

Ujicoba pentas di Sanggar Bangun Budaya, Dusun Sumber, 23 September 2013 | Foto: Pieter Andas
Teater Kepentingan (yang Politis)
Teater tak akan ada tanpa kepentingan (dan politik) – bahkan jika ia dijalankan dengan niat paling tulus-luhur sekali pun; bahkan jika ia dijalankan tanpa pertunjukan sekali pun. Teater selalu berjalan dalam kepentingan demi kepentingan, mulai yang terdalam hingga yang paling banal, dari yang serius atau yang sekadar bermain-main. Namun yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana masing-masing kepentingan berjalan dengan merdeka, mencapai tujuannya, tanpa mengganggu kepentingan yang lain.

Mimbar Teater Indonesia (MTI) 2013, dengan kepentingan menggelar lakon-lakon karya Arifin C Noer, mengundang saya sebagai sutradara untuk menggarap salah satu lakon karya teaterawan besar Indonesia ini. Undangan ini adalah sebentuk kepentingan. Di sisi lain, saya dan Kalanari Theatre Movement juga memiliki kepentingan tersendiri. Kami tidak mau hanya melayani kepentingan MTI. Kepentingan kami adalah menggunakan teater sebagai pintu masuk (sekaligus pintu keluar) untuk mempelajari, menginterpretasi, mengeksplorasi, lalu merepresentasikan kebudayaan suatu masyarakat. Kami menjalankan teater dengan kayakinan bahwa teater bukan semata sebagai pencipta pertunjukan atau sekadar melakukan kerja artistik, namun juga memiliki visi dan misi yang luhur dalam mengembangkan kebudayaan masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai utama kemanusiaan.

Kami tidak (atau belum) memiliki kepentingan terhadap lakon-lakon Arifin, juga terhadap masalah-masalah yang diangkatnya, kecuali sebuah kepentingan historis bahwa Arifin adalah tokoh penting pendahulu kami dalam dunia teater Indonesia yang patut kami pelajari. Namun saya sebagai sutradara dan penulis lakon sejak lama memang punya ketertarikan untuk menggarap lakon Kapai-kapai. Ini bukan sebuah ketertarikan pada tema tentang buruh yang diangkat oleh lakon masterpiece Arifin ini, namun lebih pada kemungkinan bentuk artistik yang ditawarkan lakon, serta cara ucap lakon dalam mengartikulasikan masalah yang diangkatnya.

Berangkat dari beberapa kepentingan itulah, kami menjalani proses penggarapan pertunjukan Kapai-kapai (atawa Gayuh). Dan dalam proses ini bertambah lagi kepentingan lain, kali ini datang dari Sanggar Bangun Budaya, sebuah komunitas seni tradisi yang hidup di Desa Sumber, Magelang, di sebidang lereng Merapi. Kami dan Sanggar Bangun Budaya sudah sejak lama menjalin hubungan kebudayaan, dan yang lebih penting lagi: hubungan kemanusiaan, guna kepentingan – yang bisa disederhanakan sebagai keinginan – untuk berbagi pengalaman dari dua disiplin seni pertunjukan yang berbeda: tradisi dan modern. Hubungan kami adalah sebentuk gerakan kebudayaan yang salah satunya kami tujukan untuk secara saling-silang mempelajari dan mengeksplorasi metode-metode penciptaan pertunjukan masing-masing, di samping juga (dan ini yang lebih penting) untuk mengetahui bagaimana latar kebudayaan masing-masing beroperasi dalam proses penciptaan.

Momen diundangnya saya oleh MTI kami gunakan sebagai salah satu media untuk menjalankan gerakan kebudayaan itu, yang salah satu hasilnya adalah pertunjukan, sebuah produk kebudayaan. Lebih spesifik lagi, media itu adalah sebuah karya sastra lakon berjudul Kapai-kapai. Sekali lagi mesti ditegaskan di sini, karena kami tidak (atau belum) memiliki kepentingan dalam mengusung tema kehidupan yang diangkat naskah lakon ini, maka kami menyikapinya “hanya” sebagai media eksplorasi artistik dan gerakan kebudayaan yang kami jalankan. Namun, dalam konteks penciptaan pertunjukan ini, naskah lakon ini juga menjadi simpul bagi hubungan kebudayaan dari dua lembaga, Kalanari Theatre Movement dan Sanggar Bangun Budaya.

“Men-Jawa-kan” Kapai-kapai
Kami berangkat dari wilayah budaya bernama Jawa. Mengapa Jawa? Ini murni berangkat dari ide dan pandangan saya sebagai sutradara. Setelah sepuluh tahun tinggal dan menjalani keseharian di Jawa, saya sebagai bukan orang Jawa merasa ada simpul sekaligus keretakan tertentu dalam hubungan antara teater modern dengan budaya Jawa. Mengapa perasaan demikian muncul dalam benak saya sebagai sutradara yang bukan orang Jawa? Jawabannya sangat sederhana: karena berteater di Jawa, dan lebih banyak terlibat dengan orang-orang Jawa. Dan perlu ditegaskan, ini murni berangkat dari masalah rasa, bukan dari analisis kebudayaan yang cermat.

Salah satu simpul yang saya temukan adalah dalam hal bahasa verbal. Berproses teater dengan para aktor yang semuanya orang Jawa, saya merasa bahasa Jawa adalah alat komunikasi yang paling intim dalam keseharian dan di atas panggung. Bahasa Jawa menjadi media yang lebih mudah digunakan untuk menyampaikan ide-ide kepada orang lain, dengan mengikutkan serta emosi dan atmosfer berkomunikasi. Rasa, emosi, atmosfer menjadi alasan tersendiri bagi saya. Saya ingin menggiring teater sebagai refleksi keseharian, guna lebih mendekatkan teater sebagai ekspresi kebudayaan dengan keseharian para pelakunya, sehingga teater bukan menjadi ekspresi yang asing, yang berjarak dengan ekspresi murni keseharian.

Namun di sisi lain, ada keretakan hubungan antara kami – terutama para aktor yang notabene semuanya orang Jawa – sebagai pelaku teater modern dengan budaya (tradisi) Jawa. Hidup meninggalkan kampung halaman – yang tak tradisional lagi – dan hidup di pingiran kota – yang belum lagi modern – adalah masalah tersendiri. Di samping itu, para aktor yang kebanyakan berasal dari Jawa bagian timur dan kini hidup di Jogja, mengalami pergeseran yang lumayan besar dalam hal pemakaian bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tidak lagi “gak” namun sudah berubah menjadi “ora”. Ini memerlukan penengokan kembali ke ruang tradisi, namun bukan berarti menengok ke masa lalu.

Keinginan untuk berangkat dari tradisi Jawa semakin kuat dengan adanya interaksi dengan Sanggar Bangun Budaya, yang bagi kami merupakan sebuah komunitas yang menciptakan ruang ekspresi budaya Jawa kontemporer, dengan berangkat dari berbagai sempalan ragam budaya tradisi Jawa. Koneksi dengan Sanggar Bangun Budaya menjadi salah satu jalan untuk menengok ke sebuah arah perkembangan budaya tradisi Jawa di masa kontemporer.

Dengan kondisi keinginan dan masalah yang demikian, kami dipertemukan dengan naskah lakon Kapai-kapai, yang ditulis dengan bahasa Indonesia, diwarnai dengan dialek Betawi urban. Berbagai warna tradisi lokal yang diangkatnya juga berasal dari Betawi. Dan masalah yang diusungnya, problem perburuhan, adalah spesifik masalah perburuhan urban.

Untuk “men-Jawa-kan” Kapai-kapai secara utuh, kami akui membutuhkan waktu yang lama, terdiri dari serangkaian tahapan penelitian, penafsiran dan latihan. Untuk tahapan pertama, untuk mengejar kepentingan dipertunjukkan pada MTI, kami mengabaikan terlebih dahulu masalah utama yang diusung lakon ini: perburuhan – hal mana yang saya singgung di awal tulisan ini sebagai “tidak (atau belum) memiliki kepentingan dalam mengusung tema kehidupan yang diangkat naskah lakon ini”. Tahapan pertama ini kami titik beratkan pada kemungkinan bentuk yang ditawarkan oleh naskah lakon, dan menggunakannya sebagai media untuk melakukan pergerakan budaya yang Kalanari lakukan dengan Sanggar Bangun Budaya.

Hal pertama yang kami lakukan dalam “men-Jawa-kan” Kapai-kapai adalah bukan dengan menerjemahkan secara utuh seluruh naskah, yang ditulis dengan bahasa Arifin, ke dalam bahasa Jawa. Yang kami lakukan adalah “meniadakan” naskah lakon terlebih dahulu, atau dengan kata lain mengembalikan penciptaan lakon kepada improvisasi, bukan penghapalan naskah lakon. Secara teknis, ekplorasi ini dilakukan dengan metode pembacaan dan pemahaman naskah lakon terlebih dahulu secara komprehensif, memilah ide-ide yang diusung setiap adegan, lalu memainkannya secara improvisatoris dengan menggunakan bahasa Jawa. Dan metode semacam ini secara tidak langsung tentu saja merupakan sebentuk negosiasi, pembelokan dan bahkan penolakan terhadap naskah lakon asalnya.

Singkat catatan, dengan improvisasi yang kami lakukan berulang kali, untuk menemukan pengucapan yang nyaman dalam bahasa Jawa, sesuai dengan latar belakang ke-Jawa-an masing-masing aktor, pada akhirnya melahirkan naskah lakon baru yang kami jadikan pijakan pengucapan teks pertunjukan, paling tidak secara verbal. Setelah memperoleh bentuk bahasa Jawa verbal untuk pengucapan teks pertunjukan, kami menyimpannya dahulu beberapa saat, untuk merancang bahasa-bahasa atau teks pertunjukan nonverbal.

Unsur nonverbal kami mulai dari tokoh. Kami mulai dengan pertanyaan ikhwal dongeng dalam Kapai-kapai. Mengapa dongeng? Mengapa yang mendongengkan adalah Emak – bukan Bapak atau Ayah? Kami mencoba mengurai permasalahan ini dengan menengok ranah budaya lisan dan pelisanannya. Dalam tradisi keseharian masa lalu, dongeng sebagai budaya lisan salah satunya mengambil posisi dalam ruang dan waktu sebelum tidur anak-anak. Dan yang biasanya mendongeng untuk anak-anak adalah ibu atau nenek. Dalam ruang dan waktu sebelum tidur anak-anak ini, dunia mendongeng adalah dunia perempuan. Dan dunia yang didongengi adalah dunia anak-anak. Makanya kemudian muncul karakter kekanak-kanakan dari Abu, dan karakter momong (yang palsu) dari Emak.

Konstruksi ibu-dongeng-anak itu kami transformasikan menjadi dalang-lakon-penonton wayang. Tokoh Emak ditransformasi menjadi Ki Dhalang. Ini berangkat dari pembacaan tentang kekuatan suatu narasi (dongeng, cerita, legenda, mitos, lakon) dalam membentuk karakter budaya, bahkan sejarah, dari suatu wilayah budaya. Dan menengok ke dunia Jawa, konstruksi semacam ini terdapat dalam dunia pewayangan. Dalam dunia pertunjukan bayangan ini kita menemukan bagaimana kekuatan Mahabharata membentuk karakter budaya, keyakinan sejarah, bahkan keimanan orang Jawa. Konstruksi ini sedikit-banyak sejalur dengan konstruksi hubungan Emak-dongeng-Abu dalam naskah lakon Kapai-kapai, di mana dongeng disusun sebagai sebuah skenario atau konspirasi yang diproyeksikan untuk mendikte jalan hidup Abu.

Ketika konstruksi transformasi ini sudah kami yakini keutuhannya, maka kami beranjak lagi untuk menengok kembali teks bahasa Jawa yang kami hasilkan sebelumnya melalui serangkaian improvisasi. Eksplorasi pen-Jawa-an dua hal besar ini (bahasa verbal dan tokoh Emak) kemudian memunculkan berbagai kendala dan temuan tertentu, yang dalam perjalanan proses memerlukan negosiasi, pembelokan dan penolakan tertentu pula. Di titik inilah sebenarnya sebuah proses berteater, sebuah dialog kebudayaan, dimulai.

Untuk menandai berbagai transformasi yang kami lakukan terhadap Kapai-kapai karya Arifin, yang artinya adalah proses perebutan naskah lakon ini menjadi milik kami, kami memberinya semacam subjudul sehingga selengkapnya menjadi Kapai-kapai (atawa Gayuh). ‘Gayuh’ merupakan sebuah kata dasar dalam bahasa Jawa, yang turunannya di antaranya ‘nggayuh’ yang berarti ‘mengambil’, ‘menggapai’, serta ‘gegayuhan’ yang berarti ‘cita-cita’. Kata ini kami pilih karena sedikit-banyak mengandung ide yang serupa dengan kata ‘kapai-kapai’. Keserupaan ide yang dikandung masing-masing kata ini tentu saja tidak sempurna. Namun di dalam ketidaksempurnaan itulah kami temukan dialog, sebuah ruang untuk menuju perkembangan.

Media Gerakan Budaya
Titik berat proses Kapai-kapai (atawa Gayuh) ini memang bukan pada produk pertunjukannya, apalagi suatu keinginan untuk nyengkuyung naskah lakon Kapai-kapai karya Arifin. Penciptaan pertunjukan ini hanyalah sebuah ruang singgah dari sebuah rencana besar yang kami – Kalanari Theatre Movement – lakukan bersama Sanggar Bangun Budaya, yaitu sebuah gerakan kebudayaan. Naskah lakon Kapai-kapai kami gunakan “sekadar” sebagai salah satu media gerakan budaya yang kami jalankan, untuk menuju salah satu ruang singgah dari sekian banyak ruang singgah yang kami rencanakan.

Kalanari meniatkan teater bukan semata sebagai pencipta pertunjukan atau sekadar melakukan kerja artistik, namun juga memiliki visi dan misi yang luhur dalam mengembangkan kebudayaan masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai utama kemanusiaan. Teater digunakan sebagai pintu masuk (sekaligus pintu keluar) untuk mempelajari, menginterpretasi, mengeksplorasi, lalu merepresentasikan kebudayaan suatu masyarakat. Gerakan ini secara internal, atau bagi dunia teater sendiri yang kami geluti, ditujukan untuk meneguhkan kembali ikatan pertunjukan-masyarakat, suatu ikatan yang kerap ditinggalkan oleh dunia teater modern di Indonesia, padahal teater tradisi hidup dengan terus menjalin ikatan tersebut. Sedangkan secara eksternal, atau bagi komunitas dan masyarakat suatu wilayah budaya yang kami masuki, dalam hal ini Sanggar Bangun Budaya dan masyarakat Sumber, tujuan dari gerakan ini adalah untuk menggugah masyarakat untuk mengembangkan kebudayaannya.

Berproses dan melakukan gerakan budaya dengan media naskah lakon Kapai-kapai ini kami lakukan dengan berbaur dalam kehidupan Sanggar Bangun Budaya dan lingkungan sekitarnya di Desa Sumber. Sembari berproses menciptakan pertunjukan Kapai-kapai (atawa Gayuh), kami mempelajari dan mencermati bagaimana latar belakang kehidupan sehari-hari mereka terefleksikan dalam produk ekspresi kebudayaan mereka, serta bagaimana metode mereka dalam melakukan adopsi terhadap berbagai bentuk ekpresi kebudayaan luar (luar desa, luar wilayah lereng Merapi dan luar Jawa).

Sanggar Bangun Budaya memiliki produk kebudayaan tersendiri, yang bisa dikatakan telah mencapai kekhasannya, terutama seni pertunjukan. Dengan kata lain, sebenarnya mereka adalah komunitas seni yang telah memiliki kehidupan (budaya) yang relatif mapan. Dalam kondisi kemapanan semacam ini kami datang dengan menawarkan sebuah teks yang dilahirkan oleh dunia teater modern. Metode yang kami sarankan kepada mereka dalam menyikapi teks ini adalah sederhana: bagaimana mengucapkan teks itu di atas panggung dengan idiom budaya yang telah mereka miliki.

Penutup
Karena sebuah eksplorasi artistik dan gerakan budaya adalah juga kepentingan yang politis, maka bolehlah menganggap tulisan ini sebagai semacam permakluman bagi mereka yang merasa kepentingannya terganggu. Maaf. Terima kasih.

  • Ibed Surgana Yuga


Post-post terkait:
Related posts:
“Kapai-kapai (atawa Gayuh)” di Mimbar Teater Indonesia 2013 dan Festival Teater Jogja 2013
“Kapai-kapai atawa Gayuh” dalam Tafsir Komunal Jawa
Teater dan Ideologi

0 komentar