3 Tahun Kalanari Theatre Movement

Foto: Dok. Kalanari | Desain: Ibed
Warung Putra di kawasan Namburan Kidul, Yogyakarta. Ketika itu 8 Maret 2012, saya mengundang beberapa teman yang pernah berproses teater dengan saya untuk makan nasi jinggo. Di sela pedasnya nasi jinggo saya mengutarakan maksud menginisiasi sebuah lembaga – bukan semata kelompok teater – yang konsen pada gerakan budaya melalui kerja teater. Ide ini muncul dari kegelisahan saya pribadi yang menginginkan teater bukan semata sebagai kerja penciptaan pertunjukan, namun juga suatu wahana untuk melakukan gerakan budaya yang bervisi dan misi yang luhur dalam mengembangkan kebudayaan masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai utama kemanusiaan. Dari warung nasi jinggo inilah kelahiran Kalanari Theatre Movement disepakati – paling tidak, kesepakatan itu ada dalam diri saya sendiri.

Nama Kalanari Theatre Movement muncul dari saya sendiri, seorang kelahiran Bali yang tinggal di Jawa, dan kesengsem dengan konsep “kala”: waktu dan kualitas demonik yang menyatu. Dalam ide saya, lembaga ini memang bukan semata kelompok teater, namun suatu lahan tempat menanam teater yang bukan sekadar untuk dipanen di kemudian hari, namun lebih pada proses memelihara, memahami, mensyukuri, sebagai aksi untuk turut serta menjaga keberlangsungan hidup ekosistem (kebudayaan).

Tiga tahun sudah peristiwa “makan nasi jinggo” itu berlalu. Belum begitu lama. Semisal anak, ia belum begitu fasih berbicara, masih cadel dan gagap dalam beberapa kata. Kami sadar cita-cita kami terlalu tinggi dan ndakik-ndakik. Di permukaan, aksi-aksi kami masih tampak hanya sebagai pencipta pertunjukan. Kami masih dikenal sebagai sekadar kelompok teater. Memang, beberapa pergerakan kami yang terpublikasi masih banyak berupa pertunjukan: Topeng Ruwat (2012), Kapai-kapai (atawa Gayuh) (2013), Panji Amabar Pasir (2013) – ah, ternyata kami baru mencipta tiga pertunjukan. Selain itu, kami melakukan pergerakan lewat beberapa event: Srawung Seni Teater Suara (2012) dan Menggali Pustaka Candi (2014). Kami juga mencoba menggelar forum dialog sederhana yang kami namai Temen Ngobrol, yang sepanjang 2014 baru berjalan dua kali: Temen Ngobrol #1 tentang teater dan keseharian, Temen Ngobrol #2 membahas teater rakyat.

Sebagian besar gerakan kami dibingkai oleh gerakan skala besar yang dirancang untuk jangka yang panjang. Topeng Ruwat dan Panji Amabar Pasir, misalnya, dibingkai oleh gerakan yang kami namai Selisik Panji, sebuah gerakan untuk menyusuri kelana cerita Panji. Semenjak 2014 kami juga menginisiasi sebuah gerakan yang kami sebut Tubuh Lamis, sebuah pergerakan eksplorasi artistik sederhana dan mendasar terhadap bahasa ucap teater (yang paling purba): suara dan gerak. Di awal tahun 2015 ini kami menggunakan lagi Kapai-kapai (atawa Gayuh) sebagai media untuk melakukan dialog budaya dengan Sanggar Bangun Budaya (Dusun Sumber, Magelang).

Di tahun 2015 ini, Kalanari Theatre Movement, anak kecil yang masih cadel ini, dengan tulus menyampaikan, “Telimakasi banyak pada semua pihak yang telah mendukung pelgelakan kami. Maap atas belum banyak hal yang bisa kami pelbuat, baik kalena stamina kami yang telbatas maupun kalena malas.”

Ibed Surgana Yuga

0 komentar