Elizabeth, Perpustakaan dan Ingatan Kita

Manusia hidup berawal dari ingatan. Maka dibuatlah monumen-monumen yang menjadi pondasi ingatan itu sendiri. Candi adalah ingatan.  Mbah Suparapto Suryodharmo ketika berkeliling di Candi Kimpulan, mengatakan Candi adalah Pustaka.  Candi menjadi kata-kata tafsir membaca kehidupan dahulu, melacak ritus kebudayaan melalui bangunan. Itulah Tema yang dikembangkan  Lemah Putih mengadakan sarasehan “Menggali Pustaka Candi” di Area Perpustakaan Universitas Islam Indonesia (12/2/14).

Perpustakaan diciptakan untuk merawat ingatan. Ingatan itu dirawat berawal dari perpustakaan batu. Sampai kini mengenal perpustaakan modern dengan  ac dan perangkat komputernnya . Kita sering tidak menyadari perpustakaan itu selalu dibawa oleh diri kita. Kita adlaah perpustakaan Elizabeth menghentak dengan ungkapannya, bahwa perpustakaan pertama berawal dari akal manusia. Akal menyimpan ingatan. Itulah mengapa hikayat, folklore, cerita rakyat tercipta dari ingatan-ingatan masa lalu lalu disampaikan secara lisan. 

Elizabeth D. Inandiak memayungi Wukir Suryadi yang mengiringi performance Suprapto Suryodarmo dalam Menggali Pustaka Candi | Foto: Dok. Kalanari

Saat manusia mengandalkan akal dan mempertahankan tradisi lisan, pengenalan aksara menghentak dengan membentuk candi-candi berupa kata, lalu membentuk cerita-ceriat melalui kitab-kitab. Inilah peradaban menulis menemui titik cerah sebagai kebudayaan tertinggi. Manusia melalui akalnya merawat ingatan, menceritakan, lalu menuliskan cerita agar manusia menjadi juru tafsir bangunan itu sendiri. 

Elizabet memberikan contoh jitu dalam sarasehan tersebut. Elizabeth membacakan serat chentini berupa cerita Yudhistira dan Kali Jaga. Dari pembacaan teks-teks tertulis itulah kita mempunyai gagasan bahawa manusia melakukan perawatan ingatan melalui teks-teks tertulis agar mampu menerjemahkan teks-teks kehidupan masa lampau. Artinya manusia memungut kata-kata dari masa lalu bermodalkan ingatan lapangan itu sendiri menjadi cerita yang tertulis, diceritakan, dibacakan agar manusia bisa belajar dari masa lalu.

Dalam bukunya “Centhini Kekasih yang Tersembunyi”,  Elizabeth menggambarkan sang kekasih, Aku (chentini) seakan-akan menjadi kenangan bersama  dengaan seratus  dua puluh juta manusia jawa memberikan cerita-cerita berupa bangunan kata yang menghentak pikiran-pikiran kita untuk mengingat kembali masa lalu kita sebagai Jawa. Buku setebal 438 hlaman itu pun telah merajut kata, berupa ingatan kita tentang Yudhistira, kelembutan Kali Jaga.
  
Perpustakaan dan Pembekuan  
Sarasehan yang terjadi diperpustakaan  mengingatkan kita tentang bekunya buku-buku. Perpustakaan mengingatkan kita akan pembekuan buku-buku. Perpustakaan batu berupa candi-candi memanggil-manggil kita untuk menafsirkan ingatan lalu menuliskannya. Sedangkan kini kita menghadapi rezim perpustakaan kaca yang membekukan buku-buku. Perpustakan batu dan perpustkaan kaca membuat kita menjadi penonton. Disinikah kita tidak bisa mengandalkan ingatan belaka jika buku-buku dibekukan di perpustakaan kaca dengan begitu modern. Membaca buku harus menjadi anggota member, tidak boleh memakai sandal jepit dan tidak boleh berkaus oblong. Inikah perpustakaan kaca dalam ranah pendidikan kita sebagai drama‘jendela pengetahuan,” namun kita menemukan monolog pembekuan.

Disinilah Elizabeth D.Inandiak mengingatkan kita akan kejituan akal manusia dalam merekam cerita-cerita sebagai saksi lapangan mampu menceritakan kembali kisah masa lalu. Inilah yang terjadi dibarat, katanya. Barat kehilangan tradisi ingatan. Sehingga jarang sekali cerita-cerit dari ingatan masa lampau yang dapat dituliskan, diceritakan, lalu disebarkan melalui buku-buku. Indonesia masih beruntung dengan ingatan-ingatan itu masih ada.

Namun kita pun mesti sadar, perpustakaan kaca menjadi ancaman itu sendiri. perpustkaaan kaca menyimpan buku-buku berupa ingatan-ingatan itu menjadi batu  tak bernyawa. Perpustakaan menjadi penjara bagi buku-buku. Di Aula Perpustakaan Universitas Islam Indonesia, ada sebuah museum kecil, di sana ada kotak putih besar telah memenjarakan buku Hatta, “Pengantar Ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan” membuat kita terennyuh. Seperti ituhkah perpustakaan kita menjadi penjara buku-buku. 

Sore sehabis acara sarsehan dan pertunjukan, aku pun mampir ke toko buku sosial agency di jalan kali urang, membeli beberapa buku. Ada nama-nama macam Marcos, Yos Sudarso,Victor Hugo yang ingin masuk ke memoriku, diingat, diceritakan, dituliskan. Persis yang diungkap Elizabeth, menceritakan ingatan berarti memaknai kehidupan. Buku boleh dibunuh, dibekukan dan dimusnahkan, tetapi manusia mempunyai akal yang tidak bisa ditundukkan.      

Rianto

Sumber: 
PENCURI PERADABAN, Selasa, Februari 25, 2014

0 komentar